BAB 30

4K 165 4
                                    

gila terharu bet gue udah bab 30. makasih banyak buat kalian yang udah baca dan ngevote, kalian luar biasa :"))

Happy reading

***

Sesuai apa yang Adipati katakan tadi, warung itu terlihat ramai akan pengunjung. Wajar saja karena hari sudah sore, matahari sudah siap untuk meninggalkan langit, menyisakan semburat jingga yang mewarnai cakrawala.

Padahal warung itu bukan café yang bergengsi, bukan juga tempat anak-anak hits melakukan pemotretan massal dengan filter snapchat dan menggunggahnya ke Instagram. Warung itu hanya warung kecil, dengan bermodalkan sebuah tenda dan banner besar bertuliskan 'Warung Pak Rudi', ruang kecil untuk memasak, serta meja dan kursi plastik yang disusun di pinggir jalan.

Tapi pengunjungnya bukan main. Tua muda, mulai dari murid yang masih memakai seragam, kumpulan mahasiswa yang kebetulan senggang, sampai bapak-bapak dan ibu-ibu yang baru lepas kantor.

Sepasang suami istri terlihat sibuk menerima pesanan yang datang bertubi-tubi. Sang suami mengelap wajahnya yang penuh keringat tapi tangannya tidak berhenti memasak di penggorengan, sementara sang istri mencatat pesanan, membungkus dan mengantarkannya kepada para pengunjung.

Aroma semerbak sudah memenuhi rongga hidungku bahkan sebelum aku dan Adipati memasuki warung itu. Perutku bergolak lapar, rasanya air liurku bisa menetes kapan saja melihat orang-orang yang menyuapkan sendok-sendok besar nasi goreng kambing ke mulut mereka dengan lahap.

Sang suami yang kuyakini bernama Pak Rudi mendongak, tatapannya bertemu dengan kami, dan seketika ia tersenyum lebar, "Halo, Adipati, sudah lama sekali kamu tidak kesini!" serunya mengalahkan keributan pengunjung.

Ternyata Adipati tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia mengenal pemilik warung ini. Kukira ia hanya mengatakannya untuk menyakinkanku. Duh, aku memang selalu suudzon sama dia.

Sang istri yang mendengarkan seruan suaminya ikut menoleh, dan senyum yang sama terukir di wajahnya, "Nak Adipati!" panggilnya.

Adipati tertawa, menghampiri mereka dan memberikan sang istri sebuah pelukan hangat, "Halo, Ibu, Bapak, udah lama juga ya saya nggak datang, warungnya makin laris aja!" Setelah itu ia melakukan tos--aku tidak tahu bagaimana menjelaskan tos ala lelaki--dengan Bapak.

Ibu menuntun Adipati ke sebuah kursi kosong. "Duduk disini aja, Nak, pesananmu seperti biasa 'kan?"

"Sebentar, Ibu." Adipati berbalik lalu melangkah menghampiriku yang sedari tadi berdiri menyaksikan interaksinya dengan Ibu-Bapak dan menarik lenganku masuk. Ibu menatap kami dengan pandangan berbinar. "Kali ini saya datang sama temen, namanya Tavisha." Adipati menoleh padaku. "Vi, ini Ibu pemilik warung ini, namanya Ibu Feli, yang lagi masak itu Pak Rudi, suami Ibu."

Aku membungkuk hormat dan memasang seulas senyum sopan. "Halo, Ibu, nama saya Tavisha, temannya Adipati." Lantas aku melakukan hal yang sama dengan Bapak, herannya Pak Rudi terperangah menatapku, gerakan tangannya pada panci penggorengan terhenti.

Aku menatap Adipati dengan bingung. Ia hanya meringis dan mengendikkan bahu.

"Bapak, jangan bengong!" Ibu mengibaskan tangannya di depan wajah Bapak, membuat sang suami tersadar sebelum terkekeh dan kembali menggoreng.

Ibu menoleh padaku dan meraih telapak tanganku dengan lembut. "Nak Tavisha, maafkan kelakuan Bapak ya. Dia kaget soalnya ini pertama kalinya Adipati ngajak pacarnya kesini." Ibu tertawa cekikikan seperti anak SMA.

Aku terperangah kaget. Buru-buru aku mengoreksi, "Ibu, saya bukan pacar Adipati!" tukasku.

Ibu menoleh kepada Adipati dengan bingung. "Lho, bukan pacar kamu, Nak?"

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang