BAB 40

4.3K 164 3
                                        

Sudah lima hari berlalu, tapi tampaknya Tama masih belum menceritakan apapun padaku. Jika aku tidak tahu apa-apa, bisa dibilang hari-hari berjalan seperti biasanya. Tama masih tersenyum padaku seperti biasa, berbicara padaku seperti biasa, tapi aku tidak bisa menampik sebuah perasaan di dadaku, kalau lama kelamaan Tama terasa menjauh dariku.

Kukira perasaan itu bisa hilang seiring dengan waktu. Aku berusaha melupakannya, well, setiap orang punya satu dua rahasia yang tidak ingin diketahui orang, termasuk Tama. Aku berusaha berpikir seperti itu, tapi semuanya sia-sia, bukannya menghilang, perasaan tidak enak ini semakin menguat.

Aku jadi mudah curiga padanya.

Setiap dia bilang ada pekerjaan yang harus ditanganinya, aku mulai berpikir, apakah dia berbohong lagi padaku, bagaimana jika setiap pekerjaan yang dikatakannya itu sebenarnya digunakannya untuk menemui Adel?

Lama kelamaan aku bisa gila kalau begini terus. Aku benci diriku yang tidak mempercayainya, tapi aku lebih lagi membenci diriku yang tidak bisa bertanya langsung padanya.

Aku hanya takut, jika jawaban yang diberikannya padaku sesuai dengan apa yang selama ini kupikirkan.

Apakah aku salah jika berpikir seperti itu?

Hari Jumat ini, aku pulang cepat karena ada rapat dadakan para guru. Seharusnya aku bersyukur, itu berarti aku bisa pulang cepat plus lebih cepat bertemu dengan Tama, tapi yang menyambutku begitu aku pulang rumah hanyalah sebuah rumah kosong.

Lagi-lagi Tama tidak ada karena bekerja. Akhir-akhir ini Tama sering sekali tidak ada di rumah, aku mengerti, pekerjaannya membutuhkannya, tapi aku masih tidak bisa menghilangkan rasa curigaku, apakah kali ini dia lagi-lagi bertemu dengan Adel atau memang benar-benar bekerja?

Kemarin saja Tama pergi pagi dan baru pulang ketika menjelang sore. Tama tidak pernah pergi meninggalkanku selama itu, dia bahkan sudah pernah memberitahuku, kalau alasan dia pulang ke Indonesia adalah untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang yang disayanginya, bukan untuk tenggelam dalam pekerjaannya.

Tapi bagaimana kalau orang yang disayanginya itu adalah Adel?

Arrrgh! Aku menghempaskan tubuhku di sofa dan menghidupkan televisi. Meskipun mataku fokus ke layar, tapi pikiranku melalang buana entah kemana.

Apakah akan berlebihan kalau aku bertanya pada Tama dimana dia berada, apa yang sedang dikerjakannya, dan dengan siapa dia bersama sekarang?

Apaan sih lo, Vi, lo bukan cewek posesif kayak gini. Jangankan Tama, gue aja bakalan ilfil kalo ada orang yang nanya gitu sama gue.

Aku langsung mengurungkan niatku.

Serba salah.

Pikiran negatif terus bercokol di benakku. Apalagi ditambah dengan suasana sepi dan lengang begini. Memang sih, semenjak insiden psikopat yang hampir membunuhku itu, Mama dan Papa lebih sering pulang ke rumah. Mereka berusaha untuk menghabiskan waktu lebih banyak untukku, pulang seminggu sekali atau dua minggu sekali.

Aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, sungguh.

Tapi di saat seperti ini, alangkah enaknya kalau saja ada seseorang yang bisa menemaniku berbicara, membiarkanku menumpaskan semua keluh kesalku.

Ah, setelah dipikir-pikir, selalu ada satu cara untukku melampiaskan semua kesepian dan emosi negatifku, pelarianku selama ini yang sudah lama tidak kulakukan lantaran betapa bahagianya hidupku akhir-akhir ini.

Tapi aku membutuhkan pelarian itu saat ini. Meskipun tidak bisa menghilangkan masalahku, tapi cukup untuk membuat pikiranku lebih jernih.

Aku membuka gadgetku, menekan kontak dan mencari sebuah nama. Setelah menemukan nama 'Leader', aku langsung menekan tombol hijau. Pada deringan kelima, teleponku akhirnya diangkat. Seperti biasa, orang ini selalu tidak suka menggunakan telepon, hanya saja, lebih mudah menjangkaunya lewat cara ini daripada mencari keberadaannya.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang