Aku memeluk Tama dengan sangat erat, melingkarkan kedua lenganku di sekeliling bahunya seakan hidupku bergantung disana. Tama membalasnya dengan pelukan yang tak kalah eratnya, kurasakan dari hangatnya kedua lengan kekarnya yang melingkar di pinggangku, menahanku untuk tetap berada disana.
Dan kalaupun Tama tidak menahanku, aku tidak berencana untuk melepaskannya.
Kesulitan memeluk bahunya membuatku memindahkan letak kedua lenganku di sekitaran perutnya. Posisi yang sangat pas, karena dapat membuatku lebih mendekat pada tubuhnya. Kutenggelamkan kepalaku semakin dalam ke dadanya, menghirup aroma Tama yang sangat amat kurindukan.
Pelukan Tama yang hangat dan nyaman hampir membuatku jatuh tertidur—ditambah dengan elusan-elusan kecilnya di punggungku—kalau bukan karena dehaman seorang pria yang tak lain adalah Papa.
Dasar Papa. Memang nggak pernah mengerti perasaan anak perempuannya.
"Udah, udah, peluknya nggak usah lama-lama amat. Toh Adhitama juga sudah kembali, temu kangen kalian bisa dilakukan kapan saja, kan?" gerutunya.
Aku mengerucutkan bibir, melepaskan pelukanku dengan perasaan enggan yang sangat, kemudian mundur beberapa langkah untuk melihat wajah Tama dengan lebih jelas. Tama sendiri tertawa kecil melihat wajah cemberutku dan mengacak rambut panjangku dengan pelan.
Hatiku berdesir karenanya.
Tama, Tama yang kucintai selama 10 tahun ini. Sayang, aku sayang sekali padanya.
Mendadak, sebuah pertanyaan melintas di benakku.
Sejenak aku berpikir.
Tanya nggak ya?
Kalo aku nggak nanya, ntar aku bakal penasaran setengah mati.
Dan juga, aku sangat ingin menyentuh...itu.
Setelah menimbang-nimbang beberapa detik, akhirnya tanganku terjulur ke arah wajah Tama.
Aku sempat menahan nafas saat sepasang mata tajam itu menghunus tepat ke dalam mataku. Akan tetapi disaat Tama diam saja membiarkanku melakukan apa yang aku mau, aku lanjut menjulurkan tanganku dan menyentuh bulu-bulu halus di sekitaran rahang Tama.
Rasanya geli mendapati bulu-bulu yang ujungnya runcing itu menusuk-nusuk telapak tanganku. Tapi aku suka dengan sensasi baru yang kudapatkan dari menyentuh wajah Tama.
Kuakui saja, aku memang mencintai semua tentang Tama.
Mau dia botak kek, lengannya hilang sebelah kek, aku yakin rasa cintaku padanya tidak akan berubah.
Sebelah telapak Tama terangkah untuk menangkup tanganku yang sedang bermain dengan brewoknya.
"Kenapa kamu jadi punya brewok begini?" tanyaku dengan geli.
"Ah, iya sebenarnya Papa juga mau nanya itu." Timpal Papa begitu saja.
Sekali lagi, Papa memang benar-benar nggak peka! Beliau tidak melihat apa bahwa anaknya sedang sangat ingin ditinggalkan berdua dengan belahan jiwanya yang sudah tidak bertemu selama 2 tahun? Mama saja lebih peka dan menyingkir ke dapur dengan alasan membuat minuman untuk Tama.
Aku memutar bola mataku karena suasana yang gagal romantis akibat celetukan Papa yang tidak peka situasi, sementara Tama lagi-lagi menunjukkan tawa kecilnya.
Aduh, dilihat dari sedekat ini Tama kelihatan semakin silau apalagi tersenyum begitu.
Bisa-bisa aku diabetes muda karena terlalu banyak mengonsumsi gula dari senyum Tama setiap hari.
"Bukan apa-apa, tapi waktu di Paris dulu, aku sangat sibuk sampai tidak sempat untuk bercukur, akhirnya karena sudah terbiasa, kubiarkan saja brewoknya tumbuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me ✔
Novela Juvenil[Completed] [16+] Lebih dari setengah eksistensi hidupnya dihabiskan seorang Tavisha Kaelyn untuk mencintai Adhitama Dirgantara, duda yang lebih tua tiga belas tahun darinya. Hingga akhirnya Tavisha merasa bahwa cintanya sudah berbalas, ternyata sos...