BAB 5

5K 237 3
                                        

"Aku mencintaimu."

Uh-oh...

Aku mengutuk diri sendiri dalam hati. Ya ampun, Avi, kok lo bodo banget sih malah keceplosan gini? Mampus deh!

Bodoh, bodoh, bodoh!

Aku terus mengutuk dalam hati sembari semakin menenggelamkan wajahku ke dalam dada bidang Tama, tidak berani mendongak menatap ekspresi yang akan dikenakan pria ini.

Pertahanan diriku benar-benar bobol kali ini. Hanya karena keberadaannya di sisiku, tersenyum padaku dan menemaniku ketika aku membutuhkannya.

Hanya itu, dan aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa cinta dan sayang yang meluap, mengancam untuk segera dikatakan.

Ah, ya sudahlah, beras sudah jadi nasi, mau dikeringkan berapa puluh tahun pun nggak bakal balik jadi beras kembali.

Alias pasrah saja, yang terjadi sudah terjadi. Dadaku berdentum menunggu jawaban dari sang empunya tubuh yang kupeluk kaku ini.

Aku bahkan tidak bisa mendengar suara detak jantung Tama lantaran suara detak jantungku sendiri menggema sampai ke telingaku, terdengar sangat jelas. Semoga saja Tama sedang lelet dan tidak menyadari kerasnya detak jantungku ini.

Detik berlalu. Kurasakan sepasang lengan yang melingkari pinggangku--lengan Tama--dan menarikku untuk masuk lebih dalam kepelukannya, sebelahnya lagi bergerak menyusuri helaian rambutku, menyisir perlahan disana.

"I love you too, Tavis."

Deg.

Sejenak terasa gempa bumi kencang di bawah kakiku. Kalau bukan karena Tama yang mendekapku dengan erat dan menopang tubuhku, bisa dipastikan saat ini tubuhku akan merosot ke lantai.

Meleleh kayak es krim yang jatuh di jalan, diinjak orang dan digilas ban mobil.

Jantungku berdetak dengan intensitas yang sangat berbeda dari sebelumnya, lebih kuat, lebih kencang, lebih cepat, dan aku tidak bisa bernafas. Sesak.

Sepertinya aku tidak butuh udara lagi. Tavisha Kaelyn akan dengan senang hati mati saat ini juga dipelukan Adhitama Dirgantara.

Cintaku berbalas.

Dengan nafas yang agak terengah--karena terlalu lama menahan nafas--perlahan aku melepaskan diri dari pelukan Tama dan mendongak menatap irisnya yang menyorot lembut padaku.

Air mata menggenang di pelupuk mataku. Senyumku mengembang dengan sendirinya, bahagianya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tama tersenyum sekali lagi dan menepuk kepalaku pelan.

"I love you, and I'm sure your parents do, too."

Sebaris kata itu, dan senyumku menghilang. Bisa kudengar logikaku tertawa keras, menertawakan kebodohan hatiku yang menerjemahkan kalimat itu seenak jidatnya.

Pret.

Apa yang lo harapkan, Avi? Ini Tama, ingat, cinta tak berbalas lo selama 10 tahun.

Tanpa menyadari suasana hatiku yang sudah berubah drastis, Tama tetap menyerocos. "They love you as much as I do. Aku tahu kamu merindukan orangtuamu, dari dulu kamu memang nggak berubah, nggak pernah bisa bilang jujur kalau ada yang kamu inginkan. You're just seventeen, kamu harus melewati hidup sebahagia mungkin."

Aku hanya mengangguk, dan Tama kembali melanjutkan.

"Tidak apa-apa egois, tidak apa-apa merengek kepada mereka, bilang kalau kamu kesepian. It's okay, aku yakin mereka akan mengerti. Mereka tidak akan tahu kalau kamu nggak mengatakannya dengan jujur, Avi."

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang