BAB 38

3.6K 158 6
                                        

Mobil besar hitam Tama berhenti di sebuah mall terbesar kota. Aku melongokkan kepala keluar jendela dan bertanya bingung. "Kok kita ke mall? Kamu mau beli sesuatu?"

Bukannya aneh, tapi biasanya Tama hanya akan mengajakku makan malam di sebuah restoran favoritnya, atau mengajakku jalan-jalan mengelilingi restorannya. Dan Tama yang berhenti di mall itu sebuah hal yang baru.

Tama melepas sabuk pengaman dan mematikan mobil. "Iya."

"Mau beli apa?"

Tangannya terulur melepaskan sabuk pengamanku. Ia tertawa pelan. "Bawel."

"Apa?!" Aku menggembungkan pipi kesal. "'Kan aku cuma nanya!" seruku.

"Iya, iya." Tama mengacak rambutku pelan. Aku membuang mukaku. "Jangan ngambek. Nanti kamu bakal tahu cepat atau lambat."

"Sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan begini?"

Tama berdecak. "Turun atau kita bakal ngobrol sampe malem disini?"

Aku merengut. "Iya, iya." Lantas aku melompat turun dari mobil Tama dan sekali lagi, melihat takjub ke sekeliling. Lampu-lampu hias bertebaran di pelataran lobi, membentuk aneka macam hewan, seperti kucing, rusa, kelinci, lucu sekali. Belum lagi taman yang diberi lampu kedap-kedip.

Malam membuat lampu-lampu itu semakin terlihat berkilauan.

Tama menutup mulutku yang menganga. Bahunya terlihat bergetar menahan tawa.

"Tama!" seruku kesal. Maklum, sudah lama aku tidak ke mall. Terakhir kali itu kencan pertama dengan Tama, tapi mall yang kami kunjungi tidak sebesar dan semegah mall ini.

Tama tergelak, sebelum menyodorkan lengannya padaku. "Ayo."

Refleks, aku langsung melingkarkan lenganku ke lengannya. Namun langkah Tama mendadak terhenti. Aku menatapnya bingung. Ia melepaskan pegangan lenganku dan berganti menggenggam tanganku, mengisi celah jari-jariku dengan jarinya.

"Hm, this is about right." Tama tersenyum puas dan mulai melangkah kembali, tanpa menyadari kedua pipiku yang menghangat, sehangat tangan Tama yang melingkupi tanganku.

Aku diam saja ketika Tama menarikku berjalan. Langkahnya mantap, seakan dia sudah tahu kemana dia akan pergi. Setelah naik elevator dua kali, akhirnya kami tiba di sebuah gerai yang menjual gadget.

Aku mengerjap bingung. "Tama, kamu mau beli hape baru?" tanyaku.

Tama tertawa. "Terkadang aku bingung kenapa kamu lemot banget."

"Hei!"

Kenapa sih hari ini Tama seakan menghinaku terus-terusan?

Dia menarikku masuk, dan seorang pria paruh baya menyambut kami dengan senyum lima jari. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" ujarnya ramah luar biasa.

Tama mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Hmm. Saya mau beli gadget, tolong berikan saya yang terbaru, Pak."

Aku menarik-narik tangan Tama dan berbisik. "Kamu beneran beli hape baru?"

Pria itu menatapku geli, tatapannya seakan mengatakan 'hadeeh!'. "Aku mau beli yang baru buat kamu."

"Hah?" Mendadak aku gelagapan. "Ngapain beli yang baru buat aku? Hape aku masih bisa hidup kok!"

"Sssh." Tama mendesis, dan seketika aku langsung kicep. "Aku tahu layar hape kamu udah retak terus sering lemot 'kan? Jadi sekarang kamu pilih aja yang kamu mau."

Baru saja aku akan memprotes, si bapak sudah kembali dengan membawa tiga gadget yang masih disimpan di dalam kotak yang dibungkus dengan sangat baik. Dia mulai menjelaskan fitur-fitur yang menurutku sangat tidak penting, tapi Tama manggut-manggut dan mendengarkan dengan serius.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang