BAB 35

4.2K 184 5
                                        

Aku terlonjak bangun dan langsung disambut dengan kegelapan malam. Nafasku terengah, keringat membasahi wajahku dan jantungku berdentam kuat. Lagi-lagi aku bermimpi buruk, aku menghela nafas lelah, kenapa aku masih mengulang kejadian waktu itu di tidurku?

Apakah aku masih sakit?

Apakah tanpa sadar tubuhku malah menerima trauma yang dalam sejak saat itu?

Bulu kudukku meremang. Kamarku terasa sangat dingin padahal tidak ada angin yang berembus, kaca jendela tertutup rapat dengan gorden yang menutupi. Aku mengusap-usap kedua lenganku dan memeluk lututku.

Sejak saat itu, aku tidak bisa tertidur nyenyak.

Entah selelah apapun, pasti ada saat dimana aku akan terhenyak bangun akibat mimpi buruk. Ironis, karena aku selalu mengatakan bahwa aku baik-baik saja, dan memang, aku sendiri merasa diriku baik-baik saja.

Tapi ternyata lo nggak baik-baik saja, Vi.

Oh, shut up. Aku tidak butuh pikiranku berdebat dengan diriku sendiri. Meskipun di sudut terdalam hatiku, aku menyetujuinya. Tapi aku terlalu gengsi, tidak mau mengaku kalau diriku memang selemah itu, secengeng itu, setakut itu.

Waktu baru menunjukkan pukul satu dini hari.

Semalam aku terbangun pukul tiga subuh, dan setelah itu aku berusaha memejamkan mata, menghipnotis pikiranku sendiri, tapi tubuhku tetap tidak mau terlelap, dan akhirnya aku terjaga hingga pagi menjelang.

Sekarang juga pasti sama. Tubuhku terasa amat lelah, tapi pikiranku tidak.

Aku menimang sejenak sebelum beranjak bangkit, menjejakkan kakiku ke lantai kayu yang dingin, dan seketika bulu kudukku kembali merinding. Ada apa denganku sebenarnya? Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak seperti ini?

Tidak, tidak, ini semua lagi-lagi hanya pemikiranku yang terlalu berlebihan. Aku hanya ingin turun ke bawah dan menghangatkan secangkir susu coklat. Memikirkannya saja sudah membuat ilerku hampir menetes. Ya, susu coklat-lah yang kubutuhkan sekarang pada hari yang dingin ini. Sekaligus menenangkan tubuhku yang lelah.

Lagipula, Tama tidak mungkin berada disini. Kemungkinannya ada meskipun sangat kecil. Tapi siapa yang akan ke dapur pada jam satu dini hari? Aku yakin tidak ada.

Tapi ternyata dugaanku salah.

Aku menuruni tangga dengan perlahan, mataku yang perlahan dapat melihat dalam kegelapan mendapati sepasang kaki panjang yang menggantung dari balik sofa. Hanya sedetik, dan aku langsung bisa mengenalinya.

Tama sedang ada disini.

Tidur di sofa yang sangat tidak nyaman baginya dengan tubuhnya yang besar itu. Hatiku langsung terasa ditusuk ribuan jarum. Aku menggertakkan gigiku, dan bukannya bergerak ke dapur seperti yang sudah kurencanakan, kakiku malah bergerak tanpa suara, menuju ke arahnya.

Sebuah isakan hampir lolos dari bibirku tatkala melihat wajah tidurnya yang tidak nyaman. Alisnya berkerut dalam, kantung matanya terlihat tebal dan hitam, dan pipinya lebih tirus dari yang terakhir aku lihat. Tama terlihat kacau, seperti yang Mama bilang.

Aku mengatupkan bibirku erat-erat, mengusap air mata yang membuat pandanganku buram dan kembali memandang lapar pada sosok yang tidak kutemui hampir seminggu itu.

Ah, betapa aku ingin memeluknya sekarang juga.

Aku menghela nafas pelan dan berbalik pergi. Hatiku terasa semakin sakit, namun kini karena rasa bersalah yang menggerogoti. Semua ini salahku, seharusnya Tama sekarang sedang menghabiskan quality time bersama keluarganya.

Tapi karena aku, dia malah kembali dengan buru-buru seperti ini.

Dengan wajah seperti apa aku harus menghadapinya nanti?

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang