BAB 32

3.5K 169 6
                                    

You got holes in your jeans
And few in your heart
You dont know what it means to me,
To watch you fall apart.

***

Aku tersentak bangun, dan sinar lampu yang menyilaukan membuatku memicingkan mata. Kepalaku terasa berdenyut, tapi ketika aku mengangkat tanganku untuk menyentuhnya, rasa nyeri di lenganku malah membuatku semakin meringis.

Kedua lenganku sudah dibalut dengan baik, juga dengan semua memar-memar di tubuhku, semuanya sudah diobati dengan baik.

Aku menoleh dan tatapanku bertemu dengan Adipati yang menatapku dengan khawatir. Cowok itu terlihat bisa menangis kapan saja. Tapi dia memaksakan sebuah senyum begitu melihatku tersadar. "Gimana perasaan lo?" tanyanya.

"Ini...di rumah sakit ya?" Aku balas bertanya. Sebenarnya tidak usah bertanya pun aku sudah tahu, bau antiseptik yang khas, ranjang putih dan tirai yang terbentang, memisahkan ranjang-ranjang yang ada di ruangan ini.

Adipati mengangguk. "Lengan lo dijahit. Masing-masing enam jahitan."

Aku terperangah, separah itukah lukaku?

"Kata dokter, luka di lengan lo mungkin bakal bikin lo demam beberapa saat lagi. Tapi tadi gue udah nebus obatnya, ntar gue kasi ke elo. Istirahat dulu beberapa hari, lo kehilangan banyak darah."

Aku kembali mengangguk, merasa agak tidak nyaman di bawah tatapan intensnya yang entah kenapa membuatku tidak berani mengangkat kepala. Kemudian aku terkesiap sadar, "Psikopat itu..." Bahkan suaraku terdengar gemetar ketika mengingat kriminal brengsek itu.

Adipati menggertakkan gigi. Nada suaranya datar, terlalu datar, seperti langit tenang yang menyimpan badai. "Tenang aja, dia udah gue serahin ke pihak berwajib. Dia nggak bakal muncul di hidup lo lagi, lo bakal baik-baik saja mulai dari sekarang." ujarnya.

Akhirnya, aku menghela nafas lega. Semuanya sudah berakhir, aku baik-baik saja. Aku memejamkan mata, merasakan semua otot-ototku yang melemas dan tersenyum. "Terimakasih, Adipati." ucapku sungguh-sungguh.

Cowok itu hanya menggumam mengiyakan. Aku menatapnya heran, ada apa dengannya? Kenapa dia malah jadi pendiam seperti itu? Kemana perginya Adipati yang selalu receh dan nyengir nggak jelas? Adipati yang ini sedikit membuatku takut.

Aku berdeham, "Gue...gue pengen pulang." pintaku.

Rumah sakit selalu membuatku tidak nyaman. Entah itu karena atmosfernya, suster dan dokter yang selalu ramah dan penuh senyum, ataupun bebauan obat yang membuat perutku bergolak mual.

"Tunggu disini." Adipati keluar, dan tidak sampai lima menit kemudian, dia kembali dengan mendorong sebuah kursi roda. Mendadak aku gelagapan, "Eh..gue masih bisa jalan 'kok, nggak usah pake kursi roda segala."

Memalukan, coba bayangkan, kakiku hanya lecet dan memar-memar. Sementara banyak pasien yang lukanya lebih parah dariku malah berjalan santai kesana-kemari, masa aku yang sehat walafiat begini malah naik kursi roda sih?

Adipati melototiku, seketika aku langsung kicep. Rasanya seperti dimarahi Papa. Tanpa banyak cincong, ia menggendongku dengan mudah dan memindahkanku dengan hati-hati ke kursi roda, aku mengucapkan terimakasih.

Kemudian, sepanjang kami keluar dari rumah sakit, naik ke mobil sedan putihnya yang baru kunaiki beberapa jam yang lalu, hingga dia memapahku masuk ke dalam rumah, tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara kami.

Sebuah hal yang aneh, karena Adipati yang aku kenal adalah cowok paling cerewet yang pernah ada.

Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu dan menghela nafas panjang. Ini malam terpanjang seumur hidupku, sekaligus malam yang paling melelahkan.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang