Aku menatap tak percaya tulisan yang tertera di lembar kertas yang sedang berada di genggamanku ini.
Jemariku bergetar hebat. Aku menarik nafas dengan susah payah, rasanya sesak. Yang ada di mataku hanyalah tulisan-tulisan yang tertera disana.
Aku syok hebat. Bagaimana ini bisa terjadi?
"Udah, udah, nggak usah dilihatin sampai segitu juga, nilai Anda akan tetap sama, Tavisha Kaelyn."
Ku angkat kepalaku, dan iris mataku bertemu dengan iris kesal milik Bu Elvi dengan tatapan penuh luka.
"B-bu, ini ibu nggak salah koreksi?" Aku tertawa miris. "Nggak mungkin, Bu, nggak mungkin saya dapat nilai 10, Ibu pasti salah."
Entah untuk keberapa kalinya, Bu Elvi kembali berdecak. "Kembali ke tempat duduk Anda sekarang atau nilai Anda akan saya potong setengahnya."
"Tapi saya nulis diketahui dan ditanya dengan lengkap, Bu!"
"Iya, tapi penyelesaiannya kosong! Seharusnya kamu berterimakasih karena saya masih memberikan nilai belas kasihan. Lain kali nilai Anda akan nol besar jika seperti ini lagi, Tavisha."
"Bu.." rengekku.
Tanpa babibu, Bu Elvi langsung mengeluarkan sebuah pen merah dari kotak pensilnya, dan sebelum dia dapat menjangkau kertas ulanganku--yang sudah lecek lantaran kuremas-remas sedari tadi--aku langsung ngacir dan kembali ke tempat dudukku.
Dasar guru killer! Setidaknya nilai belas kasihannya 40 kek, ini malah cuma 10.
Aku memandang sekilas nilai ulangan Matematikaku sekali lagi sebelum melipatnya menjadi sangat kecil dan melemparkannya dalam-dalam ke laci mejaku.
"Hancur lagi?"
Kepalaku tertoleh melihat Mega yang barusan duduk setelah menerima hasil miliknya. Tak sengaja kulihat nilai 85 besar tertulis di sudut kanan kertasnya.
Aku mencibir. "Meg, kok lo pinter banget sih."
Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
Mega hanya mengangkat bahu tak acuh. "Bukan gue yang pinter, elo-nya aja yang bego."
Aku menggeram marah. Ini nih sahabat yang nggak tahu diri. Udah tahu sahabatnya sedang bersedih karena nilai ujian yang amat teramat jelek, bukannya menghibur atau apa, ia malah merendahkannya dengan tak berperikemanusiaan.
"Perhatian." Sebuah kata terlontar dari mulut Bu Elvi langsung membungkam kasak-kusuk di kelasku. Semuanya diam, mata tertuju ke depan, tak berani bergerak, tak berani berbicara, bahkan suara nafas pun tak terdengar.
"Sudah lihat kemampuan kalian? Bagi yang merasa nilainya di bawah 60, sudah sepatutnya kalian takut. Ulangan semester hanya tersisa sebulan lagi, jangan sampai kalian mengulang tahun ini hanya karena tidak lulus pelajaran Matematika."
Berpapasan dengan berakhirnya pengumuman kematian dari Bu Elvi, bel berdering nyaring. Tanpa basa-basi lagi, Bu Elvi merapikan barangnya dan berjalan keluar dari kelas.
Hening.
Tidak ada orang-orang yang bergerak.
Seisi kelas terguncang karena perkataan Bu Elvi tadi. Aku yakin wajahku sendiri memucat mendengar kata 'sebulan lagi' dan 'mengulang'.
Sedari dulu, Matematika--yang sialnya merupakan salah satu pelajaran yang selalu ada kemanapun aku pergi--adalah momok terbesarku.
Fisika dan kimia masih bisa kucerna dengan logika. Tapi kalau sudah menyangkut Matematika, otakku berhenti total. Untuk apa kita belajar mengintegralkan persamaan tak wajar yang tidak akan ada sangkut pautnya dengan kehidupan mendatang?!

KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me ✔
Teen Fiction[Completed] [16+] Lebih dari setengah eksistensi hidupnya dihabiskan seorang Tavisha Kaelyn untuk mencintai Adhitama Dirgantara, duda yang lebih tua tiga belas tahun darinya. Hingga akhirnya Tavisha merasa bahwa cintanya sudah berbalas, ternyata sos...