Epilog : Happily Ever After
***
Aku menggeliat geli tatkala merasakan sesuatu merayap di leherku, kemudian perlahan turun ke pundakku. Sesuatu itu hangat, tapi berbulu.
"Tavisha, wake up."
Aku mengerang kesal, masih merasa sangat amat mengantuk, seluruh tubuhku terasa pegal sekali, rasanya aku ingin bergelung di bawah selimut yang nyaman ini seharian.
"Bangun, sayang. Hei, ini sudah hampir sore."
Bulu mataku bergetar seiring dengan kelopak mataku yang membuka perlahan, lantas mendapati wajah seseorang yang resmi menjadi suamiku sejak kemarin memenuhi pandangan. Tama tersenyum lebar. "Good afternoon, sunshine." sapanya setelah sengaja membuat geli tubuhku dengan brewoknya.
Senyumku tertarik tanpa sadar, kedua lenganku terangkat, melingkari lehernya, membawa wajahnya mendekat padaku, mengecup pipinya sekilas. "Halo, suamiku."
Aku berdeham, suaraku bahkan terdengar parau dan serak di telingaku sendiri.
Tama terkekeh pelan, semakin hari pria itu semakin terlihat menawan saja di mataku. Ia membantuku duduk, kemudian memberikan secangkir air hangat. "Minum, suaramu serak sekali. You screamed too much last night." godanya seraya menaik-turunkan kedua alis.
Aku menyesap air hangat itu dengan wajah merah padam, malu luar biasa. Celetukan usil Tama membuatku teringat kembali akan apa yang sudah kami lakukan semalaman.
Yap, semalam kami berhasil menuntaskan apa yang wajib dilakukan pasangan suami-istri yang baru saja menikah. Tama melakukannya dengan sangat lembut dan hati-hati, membawa tubuhku merasakan sensasi yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, rasanya seperti terbang ke galaksi lain. Pikiranku terasa kebas, dan yang bisa kulakukan hanya meneriakkan nama Tama sambil menancapkan kuku-ku di pundaknya seakan hidupku bergantung disana.
Setelah kukira semuanya telah berakhir, ternyata suamiku ini masih merasa belum cukup.
Kami kembali melakukannya, lagi dan lagi, entah berapa kali. Kali ini Tama tidak memberi ampun, tidak melepaskanku barang sedetikpun meski tubuhku sudah meronta kelelahan, memelukku berulang kali tanpa peduli racauan permohonanku padanya untuk berhenti, membawa tubuhku lagi dan lagi merasakan sensasi yang lebih intens daripada yang sebelumnya, hingga rasanya pikiranku kosong, membuatku bahkan tidak bisa lagi mengeja namaku sendiri.
Aku mendelik malu. "Emang gara-gara siapa suaraku sampai serak begini?" seruku jengkel.
Tama tertawa, sama sekali tidak merasa bersalah. "Tapi kamu suka 'kan?"
"Ih Tama! Aku malu!" ujarku seraya menutupi wajahku dengan kedua tangan.
"Don't be." Tama menarik kedua tanganku dengan seringai yang semakin lebar. "I've seen everything. Apa lagi yang perlu dipermalukan?"
Aku menggerutu sebal. Kemana perginya Tama yang selalu menolakku mati-matian ketika aku menggodanya selama kami bertunangan?
Setelah hubungan kami sah di mata negara dan di hadapan Tuhan, rasanya rem yang membatasi akal sehat pria itu mendadak blong.
Mendadak kantung kemihku meronta, meminta dikeluarkan. Aku merengek manja. "Tama, aku mau pipis."
Sebelah alisnya terangkat heran. "So?"
Benar-benar nggak peka! Aku mengerucutkan bibir seraya merentangkan kedua lenganku lebar-lebar. "Gendong, aku nggak bisa jalan. Pinggang dan kakiku kram semua."
Well, seharusnya aku tidak mengatainya, karena aku juga sama saja. Setelah menikah, kadar kemanjaanku meningkat dua kali lipat banyaknya.
Tama mengulum senyum geli, menyelipkan tangannya di pundak dan di bawah lututku, mengangkat tubuhku dengan mudah. "Nggak bisa jalan?" tanyanya sengaja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me ✔
Teen Fiction[Completed] [16+] Lebih dari setengah eksistensi hidupnya dihabiskan seorang Tavisha Kaelyn untuk mencintai Adhitama Dirgantara, duda yang lebih tua tiga belas tahun darinya. Hingga akhirnya Tavisha merasa bahwa cintanya sudah berbalas, ternyata sos...