AAD #75 ✅

2.1K 75 0
                                    

╭──────────╮
𝑵𝒂𝒋𝒎𝒊'𝒔 𝑷𝑶𝑽
╰──────────╯

Rumah Najmi Desa Baiturrahman
11 Mei 2018

"Selamat ulang tahun Munib?!" Ucapku sambil mengangkat kue milik Munib, lilin sudah menyala diatasnya. Diatas angka tujuh belas.

"Cieee sweet seventeen, bentar lagi punya KTP terus bisa deh urus surat nikah ke KUA." Aku terkikik geli, membayangkan sebentar lagi aku bisa mengambil KTP nya dan melihat muka Munib yang pastinya akan terlihat buruk di ktp nya.

"Aku doain semoga kamu bisa jadi seseorang yang kamu inginkan suatu saat nanti. Kamu mau jadi kyai kan?? Mau punya pondok pesantren sendiri, punya banyak santri dan bisa nikahin orang yang kamu cintai. Aku masih inget impianmu itu. Aku doain semoga terkabul semuanya." Aku mengungkit kembali impian Munib yang dulu pernah dia ceritakan padaku. Impian yang masih menjadi misteri untukku, tentang siapa sosok yang dicintai Munib.

"Nanti kalau kamu jadi masuk pesantren di tempat yang jauh, jangan lupain aku ya. Kasih kabar walau jarang, aku harap pertemanan kita bisa terjalin selamanya." Aku hampir menangis saat mengatakannya.

Aku menghela nafas, sebentar lagi kita akan berpisah dan setelah itu maka aku mungkin saja tidak akan menemukan seseorang yang seperti Munib lagi.

"Aku gak bisa menjamin selamanya akan terus inget kamu Na." Ucapan Munib membuatku terkejut, apa maksudnya??

"Kelak kita akan tua, lalu mati. Apakah masih mungkin untuk mengingatmu disaat aku sendiri mungkin tak ingat dengan Tuhanku."

Aku memandang Munib yang tiba tiba terlihat putus asa, air mataku merembes turun ikut mewek dengan suasana yang dia buat.

"Jikalau suatu hari nanti aku wafat lebih dulu, sempetin ziarah ya. Aku gak tau kedepannya kita bakalan seperti apa, entah aku akan jadi lebih baik, atau sebaliknya. Tapi aku yakin, Najmi bakalan jadi orang yang lebih baik kedepannya. Najmi kan calon istrinya ustadz, pasti Syarif bakalan ajak kamu jadi orang baik. Jadi aku... Aku minta doanya, doa kamu pasti berpengaruh banget buat aku. Doa dari orang yang tulus." Munib tersenyum dengan mata berkaca kaca.

Oke cukup!! Air mataku menetes membasahi pipi, ucapan Munib benar benar berhasil mendobrak bendungan yang sejak tadi susah payah kutambal.

"Kalau aku yang mati duluan, kamu juga jangan lupa ziarah ke makamku." Ucapku diselingi tangisan.

"Insyaallah." Ucap Munib.

"Gak boleh insyaallah!! Munib harus janji." Aku meletakkan kue Munib lalu mengangkat kelingkingku.

"Janji sama aku, kita adalah teman dunia akhirat."

Munib menurut, dia mengangkat kelingkingnya lalu menautkannya pada kelingkingku.

"Janji??" Tanyaku sekali lagi.

"Janji." Ucapnya dengan senyum yang terukir di bibirnya, membuat sebelah lesung pipinya terlihat.

"Tiup geh lilinnya." Titahku mengakhiri momen haru ini.

Munib memejamkan matanya lalu meniup lilin tujuh belas itu. Sementara munib meniup lilin, aku mengeluarkan kado yang kini sudah kubungkus dalam kardus kecil berlapiskan kertas dengan motif polkadot.

"Kado buat Munib." Aku tersenyum sembari menyerahkannya.

"Apa isinya??" Munib menggoncang kado miliknya.

"Buka aja."

Munib tersenyum lalu segera membuka pembungkus kadonya. Aku menunggu ekspresi wajah Munib saat kado itu terlihat, sedih atau senang?

Ada Aku Disini (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang