AAD #74 ✅

2.1K 70 0
                                    

╭──────────╮
𝑴𝒖𝒏𝒊𝒃'𝒔 𝑷𝑶𝑽
╰──────────╯

Desa Baiturrahman
10 Mei 2018

Aku memandang Al-Qur'an kecil yang baru saja kubeli, aku tersenyum tipis lalu mendongak melihat langit malam. Aku tengah menunggu kue tart pesananku, duduk sendiri di bangku yang sudah disediakan.

Andai pemilik toko kue ini bukan tetanggaku, pasti aku sudah diusir sejak tadi karena memesan kue secara dadakan, ditunggu pula. Benar benar kelewatan.

Tapi ini semua karena Najmi, jika dia tidak merengek untuk ditemani sampai dia tidur maka aku tidak akan datang semalam ini.

Aku menghela nafas "Najmi, Najmi." Aku tersenyum kecil lalu membuka plastik berisi alat untuk membungkus kado Najmi.

Bungkus ala kadarnya saja, aku adalah seorang laki laki yang tidak tau menahu tentang keestetikan sebuah benda. Yang terpenting adalah kado Najmi tidak terlihat isinya, masalah bentuk biarlah menyesuaikan dengan isinya.

"Ikhlas, ikhlas ikhlas." Kata kata yang sejak tadi jadi sering terucap. Mungkin sejak kemarin, sejak Najmi menolak lamaran habib Kahfi karena Syarif kampret itu.

Bisa bisanya Najmi menolak seseorang dari kalangan terhormat seperti habib Kahfi demi laki laki kampret seperti Syarif. Haaah,, andai Najmi menolak habib kahfi demi aku, pasti aku tak akan sekecewa ini padanya.

Tapi biarlah, aku harus ikhlas walau terpaksa. Karena sesungguhnya tidak ada kata ikhlas, ikhla hakikatnya adalah keterpaksaan yang harus dibiasakan. Lagipula sebentar lagi aku akan pergi, jika rasa ini tak kunjung hilang maka akan mengganggu pembelajaranku nantinya.

"Mas Munib, kuenya belum jadi. Bundaku capek, besok pagi aja diambilnya." Seorang anak berusia enam tahun datang menghampiri. Sedikit terkejut karena anak sekecil itu belum tidur di jam selarut ini.

"Ya udah, bunda suruh istirahat aja. Mas Munib mau selesaikan ini dulu."

Gadis kecil itu mengangguk setuju kemudian berlalu. Tak lama kemudian tulisan closed menghiasi kaca lebar dengan tulisan Chintya Bakery. Sedetik kemudian lampu padam dan tirai bambu turun menutupi kaca. Bersyukur lampu teras tak ikut dimatikan.

Aku mempercepat pekerjaannku, tak mau membuat ibu khawatir karena pulang terlalu larut. Beberapa pemuda tampak mondar mandir di jalanan, mereka adalah oknum oknum yang suka nongkrong di sembarang tempat sambil minum alkohol lalu bermain gitar sampai menjelang subuh. Sebenarnya mengganggu, tapi penduduk lebih memilih acuh karena pada dasarnya mereka hanya menginginkan perhatian. Makin diperhatikan makin ngelunjak.

Aku menghela napas, tiba tiba teringat Lala. Dia pergi, tapi sambil membawa hatiku. Entah apa yang membuatnya pergi begitu saja, tanpa kabar, tanpa pamit, tanpa ucapan apapun.

Padahal ini pertama kalinya aku bisa menyukai perempuan lain selain Najmi. Lala berhasil membuatku nyaman dan tersipu malu saat pertama bertemu. Tapi tetap saja Najmi nomor satu, Lala hanya cadangan.

Hampir berpindah ke hati Lala, tapi Najmi kebetulan ditinggal Syarif. Udah pindah ke Najmi, ternyata Najmi masih cinta Syarif. Beralih lagi ke Lala, ternyata Lala malah pergi. Kisah cinta Munib memang mengenaskan.

*Ting....Ting...Ting....* Dering telepon

Nama ibu muncul dilayar, pasti beliau tengah khawatir padaku. Hehe

"Assalamualaikum Bu." Ucapku dengan ponsel diantara telinga dan bahu, tanganku masih sibuk dengan lakban dan gunting.

"Wa'alikumsalam dek, adek dimana?? Tumben jam segini belum pulang." Suara ibu terdengar risau, suara yang pasti sebentar lagi akan kurindukan.

Ada Aku Disini (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang