01 Menunggu

807 115 61
                                    

"Aku adalah aku,
Kamu adalah kamu,
Persetan! Dengan mereka,"

-Abraham Putra Atmaja-

____________________________

MENTARI pagi mulai menampakkan cahayanya. Mencoba membangunkan setiap insan untuk beranjak dari tempat tidur ternyaman. Burung berkicau merdu, seakan-akan menjadi alunan musik klasik pengiring tidur. Daun berjatuhan menciptakan nada musiknya sendiri, menciptakan musik dengan ciri khas.

Sepasang mata masih setia menutup, ketika cahaya sang Surya menerpa wajah tampannya. Wajah yang begitu damai, seperti anak kecil yang polos. Perlahan kelopak mata itu terbuka, menampilkan iris biru jernih yang menawan. Bola matanya bergerak ke atas dan ke bawah lalu ke kanan dan ke kiri, memastikan ia masih tidur di tempat yang sama. Tangan panjangnya meraih benda kotak tipis -handphone- di atas nakas.

Pukul 06.00

Iya, hanya memastikan pukul berapa ia terbangun. Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju kamar mandi mengambil wudhu. Ia ingat bahwa dirinya belum melaksanakan sholat subuh. Karena bukankah lebih baik terlambat daripada tidak melakukannya sama sekali?

Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, kaki itu berjalan menuju lantai bawah. Ia berniat mengambil air putih untuk menghilangkan dahaga yang melanda sejak tadi. Dia adalah Abrar, Abraham Putra Atmaja.

"Eh Den Abrar, sudah bangun toh. Mau dibuatin  apa, Den??" Bi Inah, pembantu rumah tangga di rumah Abrar sedang menyiapkan sarapan untuk ia hidangkan di meja makan.

"Enggak," Abrar meminum tandas air putih yang ia ambil dari teko. Lalu meletakkan cangkir ke tempat semula.

"Bunda mana?" Tanya Abrar.

"Ada Den, di kamar. Lagi siap-siap buat pergi ke kantor,"

"Papa?"

"Tuan Besar sudah berangkat tadi subuh Den. Katanya ada meeting sama klien." jawab Bi Inah apa adanya. Ia harus bersabar jika berbicara dengan  Abrar, karena Tuan Mudanya itu sangat irit kata.

Bi Inah berniat menyingkir dari hadapan Abrar karena merasa tidak ada lagi pertanyaan yang harus ia jawab.

"Kalo begitu, saya permisi dulu, Den." Bi Inah pergi meninggalkan Abrar.

Abrar tidak menjawab. Ia terdiam, memikirkan kedua orangtuanya yang sibuk. Yang ada di pikiran mereka hanya uang, uang, dan uang. Tidak mempedulikan bahwa mereka masih mempunyai anak yang haus akan kasih sayang. Abrar tidak pernah menginginkan uang dari kedua orangtuanya, jika pada akhirnya uang yang menjauhkan mereka dari Abrar. Abrar hanya ingin kepedulian kecil dari mereka. Tetapi kenyataannya hanyalah nothing.

Abrar beranjak menuju kamar di mana ia tertidur tadi malam. Memikirkan kedua orangtuanya hanya menambah pusing kepala. Ia memilih untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah, daripada memikirkan kedua orangtuanya yang gila akan uang.

==§§§==

Pukul 06.30 Abrar sudah siap berangkat ke sekolah. Ia berjalan menuju meja makan untuk sarapan. Tangan kanannya memegang jaket bomber hijau army. Salah satu dari sekian jaket yang ia punya.

Di sana, Abrar melihat wanita berwajah Eropa yang ia panggil Bunda. Abrar terkejut karena Evelyn jarang sarapan di rumah. Wanita itu lebih sering makan di luar dengan alasan pekerjaan. Abrar melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Ia menyampirkan jaket bomber hijau army di sandaran kursi. Lalu menarik kursi dan menjatuhkan bokong di atasnya. Abrar mengambil roti dan mengoleskan selai kacang di atasnya tanpa mempedulikan sang Bunda.

Evelyn melihat Abrar yang hanya diam, tanpa mengucapkan embel embel selamat pagi seperti keluarga lain lakukan. Ia heran dengan sifat anaknya yang semakin hari semakin dingin. Sebenarnya Evelyn sedih, karena keluarga yang ia miliki tidak sehangat dulu. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu. Ia memperhatikan Abrar yang memakan roti selai kacang dengan lahab.

"Ke sekolah naik apa? Bunda udah belikan mob--

"Sepeda," jawab Abrar masih terfokus pada roti selai kacangnya, enggan menoleh pada Evelyn.

Hening. Evelyn terdiam, kemudian meletakkan garpu dan pisau makan sedikit keras. Raut wajahnya berubah masam, seolah-olah menunjukkan ketidaksukaan. Jari jemari ia tautkan satu sama lain, membuat keadaan semakin tegang.

"Sama dia lagi?" Tanya Evelyn.

"Abi. Namanya Abi," ucap Abrar memperingatkan.

"Berangkat pake ninja yang Papa kamu belikan!"

Respon Abrar hanya acuh tak acuh dengan keputusan final Evelyn dan menganggap sebagai angin lalu. Melihat respon Abrar yang hanya diam, Evelyn menghela napas berat.

"Bunda gak suka kamu dekat sama dia."

"Kenapa?"

"Turuti saja perkataan Bunda!" Evelyn meninggikan nada suaranya. Kemudian menyandarkan punggung ke kursi, melipat kedua tangan di depan dada, dan menatap anaknya dengan tajam.

Abrar terdiam. Selera makan yang ia punya hilang seketika. Abrar membanting garpu dan pisau makan hingga menimbulkan dentingan yang keras. Kemudian menatap wajah Evelyn tepat di manik mata. Menunjukkan bahwa tatapannya tidak kalah tajam dengan tatapan Evelyn. Kedua mata biru jernih itu saling beradu, mengungkapkan amarah masing-masing.

"Saya harus melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas?? It's so funny," Abrar tertawa mengejek. "Dan saya ingatkan kembali, namanya Abi bukan dia!"

Abrar menggunakan bahasa formal sebagai bentuk kesopanan. Kemudian beranjak pergi dengan memegang jaket bomber. Tidak mempedulikan Evelyn yang terdiam tak bergeming karena terkejut dengan jawaban Abrar. Sedangkan Evelyn menatap punggung anaknya dengan nanar.

Abrar berjalan keluar dan berhenti di depan gerbang rumah. Ia melihat jam tangan hitam yang melekat pada tangan kirinya.

Pukul 06.45

Wajah itu menoleh ke kiri, ke sebuah rumah minimalis berwarna putih abu-abu yang ada di sebelah rumahnya. Ia sedang menunggu seseorang. Abrar menghela napas kasar. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi.

'Kebiasaan.'

==§§§==

Jangan lupa vote dan coment 🙏

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang