47 Mengikhlaskan

405 13 0
                                    

Budayakan Vomment ketika membaca!

Happy reading 😘

_________________________________

"Mungkin cara terbaik adalah mengikhlaskanmu pergi, agar kamu tidak tersiksa di sini."

Lalisa Bintari

_________________________________

TUBUH Abi terasa mati, tidak dapat bergerak sedikitpun. Telinganya berdengung mendengar pernyataan dokter. Hati bergemuruh dan runtuh perlahan-lahan. Sebuah air mata kembali terjatuh, meskipun banyak yang telah berkorban untuk jatuh. Sesak yang melanda dadanya, membuat ia kehilangan kata-kata untuk berucap. Dunia terasa hancur berkeping-keping mendengar kenyataan yang tidak dapat terhindarkan.

Pernyataan itu membuatnya tidak berdaya. Harapan seakan kehilangan cahaya yang membuat cerah tujuan. Ia benar-benar kehabisan kata untuk mengungkapkan semua rasa sakit yang ada. Harapan ternyata tidak seindah kenyataan yang terjadi. Ia tidak ingin kehilangan Luna. Tangis hanya akan memperlemah pertahanan yang ia bangun kokoh. Tidak ada isakan tangis, Abi membekap mulutnya untuk bersuara.

"Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan anak saya, Dok?" Ucap Anto penuh harap.

"Maaf Pak, tetapi tubuh Luna tidak memungkinkan untuk bertahan."

Anto mengusap kepala frustasi. Ayah berkepala empat itu terguncang penuh kesakitan. Ia tidak ingin kehilangan anak tersayang. Ia tidak ingin kembali merasakan ditinggal oleh orang yang ia cintai. Ia tidak ingin hidup seorang diri di dunia yang fana ini. Ia tidak ingin kehilangan Luna.

Anto meneteskan air matanya lagi. Sekuat apapun ia berusaha tegar, air mata itu tetap terjatuh tanpa izin. Ia selalu menyembunyikan air mata itu, menangis sendiri dalam keheningan. Kali ini, ia tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat menyembunyikan luka yang kian menggores relung terdalam.

Luna adalah napas kehidupan bagi Anto. Ia bahagia ketika anak itu dilahirkan ke dunia. Senyuman dari bibirnya tidak henti mengembang ketika menyadari ada darahnya yang mengalir di setiap sel yang terdapat dalam tubuh Luna. Ia tidak ingin kembali merasakan luka atas kehilangan istri tercinta. Ia tidak ingin meratapi dunia dengan kesendirian tanpa dua wanita hebat yang perlahan meninggalkan dirinya.

Dokter menyerahkan selembar kertas perjanjian. Perjanjian yang dibuat untuk persetujuan bahwa Anto mengizinkan pelepasan alat yang membantu Luna hidup.

"Anda bisa memikirkan kembali tentang pelepasan ini, Pak."

Anto mengusap kasar air matanya. Sebagai seorang ayah, ia harus kuat dan kokoh menghadapi semua resiko yang mungkin terjadi. Namun, ia menangis berbanding terbalik dengan kata kokoh yang mampu bertahan.

"Saya butuh waktu untuk berpikir."

"Baiklah, saya mengerti."

Anto beranjak keluar dari ruangan dokter. Langkahnya yang tertatih tidak lagi menguatkan tubuh. Ia ingin berteriak mengeluhkan segala cobaan yang merenggut anak tersayang. Ia tidak mampu hidup dalam kesendirian. Ia tidak ingin merasakan luka dengan menyimpan semuanya sendiri.

Langkah Anto terhenti ketika menemukan seorang perempuan dengan linangan air mata yang tidak kalah deras. Tatapan yang penuh luka itu mampu menyeret Anto pada luka yang tidak jauh berbeda.

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang