08 Garam di Atas Luka

501 54 23
                                    

"Mulut adalah senjata tak kasat mata,
Namun mampu mengoyak luka atau bahkan membunuh seseorang secara perlahan.
Berhati-hatilah!!"

-Lalisa Bintari-

_____________________________

HARI ini cerah. Awan putih berarak di langit yang biru. Cahaya pagi yang hangat menjadi obat di pagi hari yang dingin. Abi duduk di belakang Abrar yang sedang menggayuh sepeda pelan. Abi membentangkan kedua tangan lebar, membiarkan angin menerpa kulitnya yang putih bersih.

Abi tidak lagi melingkarkan tangannya pada perut Abrar. Ia tidak ingin memperpanjang masalah dan membuat mulut mereka semakin berkicau tidak sepantasnya. Karena mulut manusia lebih tajam dari belati yang baru saja diasah oleh pemiliknya. Padahal hanya satu ucapan menyakitkan saja dapat membuat luka begitu dalam. Memang bukan fisik yang terluka melainkan hati. Bukankah hati lebih sulit disembuhkan??

Abi mendongak menatap langit. Awan begitu indah menari di birunya langit. Menatap langit membuat Abi bersyukur akan nikmat Tuhan yang tiada tara. Mensyukuri atas segala nikmat yang Tuhan berikan. Setiap hembusan napas hingga kedipan mata termasuk nikmat terbesar yang harus kita syukuri. Tetapi manusia seringkali lupa bahkan mengabaikan. Mereka terlalu sibuk dengan masalah duniawi hingga lupa caranya bersyukur.

Abrar menghentikan sepeda biru di parkiran sekolah. Tak terasa waktu berjalan lebih cepat saat Abi mensyukuri nikmat Tuhan. Abi turun dan berdiri di samping sepeda. Menunggu Abrar merapikan posisi sepeda agar tidak berserakan. Abi teringat akan komentar kejam yang ditujukan padanya secara sepihak. Ia memutuskan berjalan terlebih dahulu karena takut Abrar akan malu jika berjalan beriringan dengannya.

Abrar menghembuskan napas kasar. Memandang punggung Abi yang berjalan di depannya. Tangan Abrar refleks menarik lengan Abi. Tetapi sayang ia terlalu kuat menarik hingga Abi berbalik dan membentur dada bidang Abrar. Tangan kekar Abrar menyentuh pinggang Abi. Menjaganya agar tidak jatuh karena tarikan tersebut. Jarak mereka terlalu dekat hingga tersisa beberapa senti saja. Mata biru Abrar menatap mata cokelat Abi. Hanya sesaat. Abi memutuskan aksi saling pandang dan mendorong Abrar agar menjauh darinya.

Abi membuang muka ke samping, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya. "A-ada apa, Abrar?" Tanya Abi kikuk.

"Kenapa?" Abrar menatap Abi.

Abi menoleh dan mengerutkan kening. "Apanya yang kenapa? Kalo ngomong itu yang lengkap, Abrar.."

"Kenapa kemaren nangis?"

Abi berusaha berpikir, mengingat-ingat kejadian kemarin. "Oohh ituu.. Abi nangis karena bahagia, " ucap Abi tersenyum. "Bahagia melihat Abrar yang tertawa lagi setelah beberapa tahun lamanya,"

Abrar mengernyit keheranan. "Se-sederhana itu?"

Abi menggeleng mantap. "Itu bukan hal yang sederhana. Semua yang berkaitan dengan Abrar, tak pernah sedikitpun Abi menganggapnya sebagai hal yang sederhana," Abi terdiam sejenak. "Kalo dibilang berharga enggak cukup. Abrar itu lebih dari kata berharga,"

Abrar tidak menjawab. Ia tercengang dengan perkataan yang keluar dari mulut Abi. Abrar menatap Abi yang tersenyum di depannya. Ia speechless. Entah kata apa yang pantas untuk membalas perkataan Abi. Tangan Abrar tergerak mengacak acak rambut Abi yang dikucir satu. Kemudian melangkah menuju kelasnya tanpa berkata apapun.

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang