22 Malem Minggu

333 25 5
                                    

"Cintaku abadi layaknya bunga edelweiss yang tumbuh di Merbabu."

-Lalisa Bintari-

______________________________

SUARA decitan pintu yang terbuka, terdengar jelas di ruang sunyi. Seorang laki-laki berwajah tampan masuk dengan perlahan. Wajah itu celingak-celinguk penuh kewaspadaan. Ia takut ketahuan oleh sang Pemilik karena tidak pulang seharian.

Mengendap-endap, ia melangkahkan kaki. Ruang tengah terlihat gelap gulita. Tidak ada pencahayaan walaupun hanya setitik. Ia harus bergegas ke kamar tidur yang berada di lantai dua. Ia tidak ingin berakhir dengan tertangkap basah.

"Kevin!" Tiba-tiba lampu menyala terang. Menyilaukan pandangan siapapun. "Ke mana saja kamu?!"

Kevin memejamkan mata sejenak. Ia tertangkap basah seperti maling. Lantas harus bagaimana sekarang?

"Kevin, Papa berbicara padamu."

Kevin berbalik. Menemukan pria paruh baya dengan baju piyama tidur. Duduk di sofa, bak raja yang mengintrogasi seorang pencuri. Mengerikan.

Handoko memijat kening. "Duduk. Ada yang harus kita bicarakan."

Kevin menurut. Duduk di hadapan Handoko. Ia tertunduk. Bagaimanapun, ia adalah seorang anak. Kevin tahu, kewajiban sebagai seorang anak, adalah menuruti perintah orangtua. Meskipun tergolong arrogant dan nakal, Kevin tetaplah anak yang lemah di hadapan orangtua.

"Apa yang kamu lakukan? Memukul anak orang hingga masuk rumah sakit dan meminta dikeluarkan dari sekolah?" Handoko menatap Kevin tajam. "Apa itu yang Papa ajarkan sejak kecil?"

Kevin terdiam. Ia tidak ingin menyahut. Membiarkan Handoko mengeluarkan semua amarah yang ada.

Handoko menghela napas berat. Anak laki-laki yang kelak akan menjadi tulang punggung keluarga itu selalu membuat keonaran. Mencari keributan dan berakhir pada perkelahian. Tidak sedikit yang berujung pada hukum. Namun, semua mereda karena kekuasaan.

"Pihak keluarga korban ingin membawa masalah ini ke hukum, dan kamu tahu apa yang akan terjadi jika Papa tidak ikut campur?" Suara Handoko terdengar menggelegar. "Kamu akan dipenjara, atau bahkan membusuk dipenjara, Kevin!"

"Kevin, gak pernah minta Papa ikut campur." Kevin bersuara pelan, namun menghargai Handoko.

"Seharusnya, kamu berterima kasih karena Papa selalu menyelamatkanmu dari masalah." Handoko menghela napas berat. "Sekarang, tidak ada sekolah yang mau menerimamu sebagai murid. Apa yang kamu rencanakan, Kevin?"

Handoko adalah ayah Kevin. Ia tahu benar, sifat dan karakter dari anak itu. Kevin tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Meskipun cara yang digunakan terkesan frontal dan kasar, Kevin adalah seorang yang pemikir dan terencana. Mustahil jika ia melakukan sesuatu tanpa maksud di belakangnya.

Kevin terkekeh. "Apa yang Papa bicarakan?"

"Jangan berpikir Papa tidak tahu apapun Kevin. Papa tahu, semua yang kamu lakukan ada alasan di dalamnya."

Kevin tersenyum smirk.

"Masukkan Kevin di SMA 65 GARUDA BANGSA. Itu yayasan sekolah Kakek, bukan?"

==§§§==

Kamar tidur yang gelap. Temerap lampu belajar menjadi pencahayaan utama. Sebatang pensil bergerak mengoreskan coretan, menimbulkan suara yang khas di suasana yang sepi.

Gadis cantik berambut panjang itu masih asik bermain dengan kertas dan pensil. Ia menciptakan gambar dengan talenta yang jarang. Pensil warna-warni berserakan di meja kecil. Seakan menjadi pemanis dalam gelap yang menyerubungi ruang.

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang