40 Hilang

345 23 0
                                    

Now Playing: Risalah hati-Dewa 19 cover Hanindhiya

Ho!
Up nihhh,

Jangan lupa comment ya..

Bagian ini cuma dikit doang ya, entar up to date lagi kok 😊
Ditunggu aja 

See you next!

Happy reading💕

________________________________

"Jadilah seperti pohon,
Tetap berdiri kokoh meskipun satu persatu dedaunan luruh meninggalkannya."

-Luna Disastro-

_________________________________

ABRAR menunggu Luna di depan rumahnya. Setiap pagi, ia harus menjemput perempuan itu, menjaganya agar tidak tidak terluka. Meskipun raga Abrar berada di dekat Luna, tidak dengan hatinya. Hati Abrar selalu bersama Abi di manapun dan kapanpun.

Abrar diam bukan berarti ia tidak terluka. Ia merasakan sesak setiap melihat Abi dekat dengan laki-laki lain. Rasa sesak dan sakit itu berulang-ulang kali datang, meskipun telah ia abaikan. Mungkin, ini adalah resiko nyata dari melepaskan.

Anto datang menemui Abrar. Ia melihat laki-laki itu termenung, entah memikirkan apa. Ia merasa Abrar seperti mayat hidup, tidak mempunyai tujuan dan semangat hidup. Ia kasihan dengan laki-laki itu, beban berat harus ditanggung.

"Abrar?"

Abrar terdiam, dengan posisi tidak berubah sedikitpun.

Anto menghela napas pelan, kemudian menepuk pundak laki-laki itu. "Abrar?"

Abrar terhenyak, kemudian tersenyum tipis.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Anto.

"Enggak papa Om."

Anto mengangguk. "Terima kasih ya, udah menjaga Luna selama ini."

"Iya, Om." Abrar tersenyum sekilas.

Tidak lama, Luna datang. Rambut perempuan itu semakin hari semakin pendek. Bahkan rambut itu semakin sedikit, tidak selebat dahulu.

Abrar menghela napas pelan. Luna selalu tersenyum apapun yang terjadi. Orang lain tidak akan tahu bahwa senyum itu adalah senyum yang menutupi luka. Ah, itulah alasan mengapa Abrar tidak bisa meninggalkan Luna. Perempuan itu kuat, tetapi juga rapuh.

Anto mengusap pipi Luna pelan. "Kamu potong rambut lagi?"

"Iya, soalnya Luna suka rambut pendek akhir-akhir ini, Pah. Hehe.."

Bukan itu alasan sebenarnya, yang terjadi adalah rambut Luna semakin hari semakin rontok. Untuk mengurangi kecurigaan teman-temannya di kelas, ia harus potong rambut sehingga mereka tidak akan merasa aneh.

"Lo gak papa?" Tanya Abrar khawatir.

"I'm fine, don't worry." Luna tersenyum.

"Tapi lo pucet banget, gue takut lo kenapa-napa. Gak sebaiknya lo di rumah aja?"

"Sejak kapan Abrar jadi cerewet gini sih?" Luna terkekeh. "Udahlah, gue kuat kok, gue pengen sekolah, mungkin aja ini hari terakhir gue sekolah."

Anto menghela napas pelan. Ia tidak menyukai ucapan 'terakhir' yang dilontarkan Luna. Tidak ada kata terakhir, Luna akan selalu bersamanya hingga nanti.

"Kamu beneran gak papa?" Anto kembali bertanya. "Bener kata Abrar, kamu terlihat pucat, di rumah aja ya?"

"Enggak!" Sanggah Luna. "Luna pengen sekolah, Pah."

Keras kepala Luna memang tidak dapat di atasi begitu saja. Tidak adala pilihan lain, selain menuruti permintaan gadis itu.

"Baiklah." Anto menghela napas pelan, menuruti permintaan anak tersayang. "Tapi, janji kamu baik-baik saja di sana?"

"Janji." Luna tersenyum.

"Ya udah, Papa masuk ke dalam dulu, ada urusan yang harus diselesaikan." Anto beralih menatap Abrar. "Saya titip Luna ya?"

"Iya Om." Abrar mengangguk pelan.

Setelah itu, Anto berjalan masuk ke dalam rumah.

Abrar menatap Luna cemas. Perempuan itu semakin lama semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya yang rapuh dan lemas membuat Abrar ingin menjaga lebih ketat, seperti seorang kakak menjaga adik tersayang.

"Apa?" Luna mencebikkan bibir kesal. "Jangan liatin gue kayak gitu, gue gak perlu dikasihani!"

Abrar tersenyum. Ini adalah kali pertama ia tersenyum selain kepada Abi. Untuk Luna, ia tersenyum agar perempuan itu lebih kuat.

Sedangkan Luna, terperangah dengan senyuman Abrar. Senyum paling indah setelah senyuman kedua orang tuanya. Senyuman yang ia nantikan muncul setelah sekian lama.

"Jangan senyum!" Luna mengalihkan pandangan ke tempat lain. Ia yakin, pipinya pasti bersemu merah karena tersipu malu.

"Kenapa?"

"Kalo jangan, ya jangan. Gak baik buat kesehatan jantung."

Abrar tertawa lepas. Sungguh, tawa yang indah dan merdu. Luna beruntung bisa mendengar tawa itu sebelum hidupnya berakhir. Ia tersenyum miris, terakhir? Lucu bukan? Ia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi.

Abrar mengusap rambut Luna pelan, kemudia tersenyum.

"I'll be there for you, so keep smile and be strong. You'll be live longer."

Luna tersenyum miris, kemudian mengangguk. Lebih lama? Bullshit!

Abrar hanya memberinya harapan palsu. Cepat atau lambat hari itu akan datang, hari di mana ia harus meninggalkan semua orang yang ia cintai.

Luna benci ketika menghadapi kenyataan, bahwa ia harus meninggalkan. Jujur, ia tidak takut pada kematian. Ia hanya takut berpisah dengan mereka yang ia sayangi.

Luna tidak ingin pergi. Ia ingin di sini, bersama mereka. Namun, ia tidak berdaya, takdir berkata lain, yaitu pergi.

"Yuk, berangkat."

Luna mengangguk, kemudian berjalan ke arah samping mobil. Namun, rasa sakit yang menyerang seluruh tubuhnya membuat langkah terhenti.

Kepalanya seperti ditikam oleh benda tajam. Terasa sangat sakit. Tubuhnya terasa lemas, hingga keluar cairan merah tua dari hidung.

Ia benci cairan itu, sangat benci. Tanpa sadar, kegelapan menyergap dan mengambil alih kesadarannya.

==§§§==

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang