Jangan lupa koment dan vote ya
Happy reading!
Salam manis
_________________________________
"Terkadang kita belajar untuk menerima.
Menerima kenyataan bahwa semuanya tidak sesuai harapan."Lalisa Bintari
___________________________________
ABI termenung menatap langit. Awan berarak santai menuju tempat yang tak terduga. Awan itu hitam pekat seakan ingin menangis menumpahkan keluh kesah. Satu hal, ia belajar merelakan dari awan-awan itu. Untuk bisa terbang, awan harus ringan agar melayang-layang di udara. Seperti itulah, ia ingin menjadi awan.
Seminggu berlalu dengan cepat. Beribu kegiatan yang padat mulai datang satu persatu. Sebagai kelas 12, Abi harus belajar dengan giat agar menembus universitas yang diinginkan. Ia harus mati-matian belajar karena otaknya yang kadang tulalit. Setiap hari berhadapan dengan soal-soal matematika membuatnya semakin jenuh. Ia butuh refreshing agar otak kembali berpikir jernih.
Aroma obat-obatan menjadi salah satu aroma yang ia hirup selama seminggu. Bertemu dengan pasien yang sakit, membuat mata biasa melihat obat, jarum suntik, infus dan lain-lain. Sepulang sekolah, Abi menyempatkan untuk menghampiri Luna. Perempuan itu sudah tertidur selama seminggu dan tidak ada niat untuk bangun.
Abi melangkah lebih dalam ke rumah sakit. Hatinya sesak setiap kali melangkah menuju area ini. Bagaikan dicabik-cabik oleh pisau yang mempunyai ketajaman di atas rata-rata. Sekali lagi, ia menghembuskan napas pelan. Berulang kali perempuan itu melakukan hal yang sama. Melihat Luna tidak berdaya membuat seluruh raga tersiksa. Tidak hanya fisik, melainkan batin pun terluka.
Ketika hendak menemui pertigaan di antara lorong, ia berhenti. Berpikir sejenak, kemudian ia berbelok ke kiri, sebuah lorong yang berlawanan dengan lorong di mana Luna di rawat inap.
Seragam SMA 65 GARUDA BANGSA masih melekat jelas di tubuh mungil itu. Perawat ataupun pegawai yang lain sering menemukannya berkeliaran di rumah sakit, sehingga mereka terbiasa dengan keberadaan perempuan itu.
Langkah kakinya menuju sebuah taman. Di sana, ada sebuah bangku kecil di antara air mancur yang indah. Ia melangkah, kemudian duduk di atasnya. Sejenak, ia kembali menatap langit hitam. Hujan akan turun membasahi bumi, menumpahkan air mata.
Abi ingin seperti hujan, ingin menangis. Rasa sesak yang memenuhi hati dan otak tidak dapat dibendung kembali. Menengadah adalah salah satu cara untuk menghambat air matanya terjatuh. Ia tidak akan menangis, meskipun hati menginginkan. Ia akan menjadi kuat karena rapuh tidak cocok untuknya.
Ia merasa bodoh. Bodoh, sebodoh-bodohnya. Mengapa ia tidak mengetahui apapun tentang Luna? Mengapa harus Luna yang merasakan? Mengapa ia begitu jahat terhadap Luna dahulu? Mengapa ini dan itu, pertanyaan-pertanyaan yang selalu memenuhi otaknya selama seminggu. Ia tidak bisa fokus belajar karena memikirkan hal itu. Ia menyesal, sangat menyesal.
Seandainya waktu dapat diulang kembali, Abi tidak akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Ia akan berkorban untuk Luna, selalu berada di samping perempuan itu, dan tidak akan meninggalkan. Mustahil, semuanya telah terjadi dan tidak akan mengulang kembali ke awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abi dan Abrar
Teen Fiction[SELESAI] Mencintaimu bukan perkara yang mudah. Aku harus melewati jalan berlumpur dan penuh lubang. Jika aku salah langkah sedikitpun, maka aku akan jatuh dalam kubangan lumpur yang kau ciptakan. Hingga aku memahami; betapa sulitnya sebuah perjuan...