48 END

541 25 13
                                    

"Layaknya kelopak bunga yang terbang terbawa angin, aku tak ingin dia pergi."

-Lalisa Bintari-

______________________________

ABI menatap semua kesedihan di hati. Kesakitan yang nyata akan perihnya melepaskan. Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan, selain menerima keadaan. Kehilangan adalah sesuatu yang tidak pernah diinginkan siapapun. Seberat apapun, seperih apapun, cobalah menerima. Waktu akan tetap berjalan apa adanya. Tidak peduli meskipun luka tumbuh dengan hati yang tidak baik.

Abi berjalan pelan di lorong rumah sakit. Detik demi detik terlewati dengan berat. Seperti kata mereka, akan ada pelangi selepas hujan turun. Iya, mereka benar. Namun, ia harus berhadapan dengan perpisahan sebelum benar-benar ikhlas melepaskan. Dunia ini penuh dengan kejutan, termasuk kejadian yang tak pernah terjadi, kini dapat mengoyak relung hati.

Kali ini, ia tidak akan menangis. Sudah cukup untuk semua tangis yang terjatuh. Luna tidak ingin ia menangis lagi. Mempersiapkan hati lebih baik daripada menangis tidak tentu arah. Biarlah waktu menyembunyikan hati yang kelam dan gelap gulita. Kelak, akan ada setitik cahaya untuk kembali bangkit dari keterpurukan.

Abi berjalan hingga menemukan Anto di ruang resepsionis. Ia tahu maksud kedatangan pria paruh baya itu di ruang resepsionis. Tugasnya adalah menggagalkan niat Anto. Pasti.

Anto terdiam, memandangi selembar kertas yang menjadi penentu tindakan selanjutnya. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin kehilangan seseorang yang berarti, namun ia tidak bisa menyiksa Luna. Sungguh, keputusan yang berat bagi seorang ayah.

"Om Anto?"

Anto menoleh pada perempuan cantik dengan wajah khas Jawa. Abi tersenyum sempurna, seakan semua luka hilang begitu saja.

"Abi?"

"Om, baik-baik saja?"

Anto menghembuskan napas kasar. "Tidak cukup baik."

"Om, jangan lakukan itu." Abi menatap Anto penuh harap.

"Abi, Luna memerlukannya."

"Abi tahu. Maafkan Abi, karena membuat jiwa Luna tertahan."

Anto sepenuhnya menghadap Abi. Menatap perempuan berambut panjang. "Apa maksudmu?"

"Kenyakinan Abi bahwa Luna akan sembuh seperti sedia kala hanya keegoisan Abi semata. Abi terlalu memaksakan keadaan hingga membuat Luna tersiksa." Abi menunduk menyesal.


Tanpa diduga Anto tersenyum tulus, kemudian mengusap pucuk kepala Abi. "Kamu tidak salah, hanya saja kamu tidak menyadarinya."

"Om, biarkan Abi menebus semua kesalahan Abi."

Anto mengangguk mengerti. "Baiklah, lakukan apapun untuk Luna."

"Seharusnya Abi lakukannya dari dulu."

Abi tersenyum, kemudian melangkah menuju ruang rawat inap Luna. Hatinya sesak melihat perempuan cantik itu terbaring dengan napas yang tertinggal setengah. Ia menyadari semua kesalahan yang ia perbuat. Cara terbaik adalah mengikhlaskan meskipun tidak mudah.

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang