18 Taman Bermain

390 27 35
                                    

"Kepada senja,
Kubisikan cinta dalam mega merah merekah."

-Lalisa Bintari-

________________________________

SUARA bersautan orang yang bercengkrama terdengar nyaring. Berlomba-lomba menunjukkan kebahagian yang mampir, walaupun hanya sejenak. Kini restoran bernuangsa Jepang ini, terlihat ramai dengan senyum dan tawa bahagia. Sebagian dari mereka, meneriakan tawa dalam pembicaraan. Terkecuali Abrar. Cowok berparas tampan itu terdiam. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Di samping Abrar, Luna berbicara dengan renyah. Entah kata apa yang keluar dari bibir itu. Seakan menganggap kejadian beberapa detik yang lalu sebagai hal yang biasa. Tidak sedikitpun raut kesedihan terlihat di wajah cantik Luna. Senyuman tak henti menjulang dari bibir mungil. Orang lain akan menebak dengan mudah bahwa gadis berparas cantik itu berbahagia untuk hari ini.

"Abrar, lo dengerin gue gak sih?" Luna kesal dengan Abrar yang sedari tadi diam semenjak kepergian Abi. "Lo gak usah khawatir, Abi udah gede. Dia bisa pulang sendiri."

Abrar masih terdiam. Mata biru menawan itu menerawang ke depan. Tidak terusik sedikitpun dengan perkataan Luna. Pikiran Abrar hanya tertuju pada satu nama.

Tadi, Abrar melihatnya. Sangat jelas. Air mata itu. Cairan bening yang tidak ia inginkan keluar dari mata cokelat yang indah. Tentang janji yang harus ditepati. Namun, cairan tak berwarna itu baru saja terjun bebas.

Luna tidak menggubris sikap Abrar. Ia meraih lengan kekar Abrar dan bergelayut manja di sana.

"Abrar, ngapain sih lo mikirin Abi? Jelas-jelas ada gue yang lebih cantik. Harus--

Abrar menyentak kasar tangan Luna. "Jangan sentuh gue."

Luna terbengong dengan sikap Abrar yang berubah secepat kilat. "Kenapa?"

"Risih. Jijik." Abrar enggan menatap Luna.

Luna diam sejenak. Ucapan Abrar benar-benar menusuk relung hati terdalam. "Tapi tadi gue pegang, lo diem aja. Jadi gue kira--

"Jangan pernah bandingin lo sama Abi. Lo berada jauh di belakangnya," Abrar berdiri. "Sangat. Jauh."

Abrar menekankan kata dalam ucapannya. Kemudian melangkah pergi dari tempat yang penuh kebahagian itu. Yang harus ia lakukan adalah mencari seseorang yang memutuskan pulang sendiri tanpa tahu jalan untuk sampai ke rumah.

Luna tercengang. Menatap punggung Abrar yang perlahan menghilang. Menerka-nerka peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka kata-kata yang meluncur dengan mudah di bibir Abrar, akan menusuk relung hati yang terdalam.

Luna memegang dada yang kini merintih kesakitan. Setetes dari air mata terjatuh dari tempatnya. Baru kali ini, selama ia hidup, Luna merasakan rasa sakit terhadap orang asing yang tak sengaja ia kenal di mall. Aneh. Rasa yang benar-benar aneh.

"Luna, kamu di sini? Papa cari kamu keliling mall," Anto -Papa Luna- datang dari arah belakang. "Kenapa gak ngabarin Papa? Papa khawatir sama kamu, sayang.."

Luna menunduk, enggan menunjukkan wajah penuh air mata. "Luna pengen sendiri, Pa."

Anto mendekati kursi dan duduk di sebelah Luna. "Kamu kenapa? Gak biasanya kamu begini."

"Sakit, Pa.." suara Luna terdengar parau.

Wajah Anto berubah cemas. "Apa yang sakit, sayang?"

Luna mendongak. Air mata telah membentuk aliran sungai kecil di pipinya. "Beri tahu Luna, bagaimana menghilangkan rasa sakit di hati, Pa? Luna harus bagaimana menyikapi rasa yang muncul tanpa izin ini?"

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang