Extra Part 2

622 31 0
                                    

HARI minggu menjadi hari dambaan setiap insan. Hari yang direncanakan akan terbebas dari segala kegiatan. Bersantai-santai menikmati indahnya mentari muncul di pagi hari. Menghirup udara sejuk dengan beban yang terlepas sejenak. Setidaknya itu yang pikirkan sebagian orang tentang hari minggu.

Lain halnya dengan Abi, wanita berumur 23 tahun itu bermalas-malasan di atas tempat tidur. Tidak sedikitpun bergerak untuk melakukan kegiatan olahraga. Ia merasa dunia ini penuh dengan harapan, namun juga dilengkapi dengan kejatuhan. Seminggu berlalu sejak Kevin berkata bahwa Abrar akan menemuinya. Nyatanya? Tidak sedikitpun batang hidung laki-laki itu terlihat.

Abi berusaha menepis harapan bahwa Abrar akan datang menemuinya. Namun, tetap saja ada setitik harapan yang mampir untuk membuat harapan baru. Ia mencoba berpikir realistis. Laki-laki setampan Abrar tidak akan bertahan pada satu wanita, bukan? Abrar memiliki segalanya. Harta, tahta, bahkan jika dirinya menginginkan seorang wanita, semua wanita normal akan berebut untuk menjadi istrinya. Ia tinggal menunjuk saja. Gampang, kan? Mengapa ia harus bertahan mencintai wanita miskin sepertinya?

Bagaikan langit dan bumi. Perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan Abi dan Abrar.

"Abi! Bangun! Ini sudah jam berapa?! Kamu itu wanita, seharusnya bantu Mama masak!" Maria datang tergesa-gesa. Wanita paruh baya itu menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuh anaknya.

"Apa sih, Ma? Abi lagi males masak." Ucap Abi dengan suara khas bangun tidur. Wanita itu kembali menyelimuti tubuhnya.

"Eittsss!" Maria mencegah tubuh Abi yang hendak limbung kembali. "Mau ngapain?"

"Mama gak seru, ah! Abi mau tidur."

Maria memaksa tubuh Abi untuk duduk. Wanita itu akhirnya menurut dengan wajah yang cemberut. Maria duduk di sampingnya. Mereka sama-sama menghadap jendela yang disinari cahaya mentari.

"Kamu itu sudah besar. Udah waktunya nikah."

Abi menoleh ke arah Maria malas. Apakah topik nikah menjadi trending sekarang? Tidak ada topik lain yang lebih seru? Nikah, nikah, dan nikah. Selalu saja ia mendengar kata itu berjuta-juta kali. Bagaimana ia bisa menikah jika hatinya saja tidak menginginkan?!

Maria memukul lengan Abi pelan. "Jangan melihat Mama seperti itu! Kamu itu panutan keluarga. Kakakmu Adam udah bahagia sama keluarganya, memangnya kamu tidak ingin begitu juga?"

"Abi pengen jadi perawan tua."

"Isshh, kamu itu ya kalo dibilangin ngeyel! Kalo kami tidak bisa mencari calon suami sendiri, biar Mama yang carikan."

Abi menoleh ke arah Mamanya kembali. "Ma, Abi bisa cari sendiri kok."

Maria menghadap anaknya, kemudian mengelus rambut Abi pelan. Merapikan rambut itu agar rapi, tidak berantakan seperti singa liar.

"Sampai kapan kamu mau nunggu Abrar? Dia tidak peduli denganmu Abi. Apakah di luar sana tidak ada wanita cantik melebihi kamu? Sampai-sampai Abrar harus menunggumu?"

Abi menunduk. Benar kata Mamanya. Tidak seharusnya ia berharap lebih. Di luar sana banyak wanita yang lebih cantik daripada dirinya. Semakin ia berharap, maka semakin ia terluka karena harapan yang ia buat sendiri.

"Abi tahu, Abi cuma berharap." Cicit Abi pelan.

Sebagai seorang ibu, Maria tahu bagaimana perasaan anaknya saat ini. Wanita paruh baya itu mengelus tangan Abi lembut dan menatap penuh kasih sayang. "Jika memang Abrar jodoh kamu, dia akan kembali. Menemui Mama sama Papa dengan cara yang baik juga."

Abi menggeleng. "Abrar tidak akan kembali, Ma."

Maria tersenyum. "Bagaimana jika kamu melupakan Abrar saja?"

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang