20 Tatapan

358 23 0
                                    

"I stay here for you,
And I don't know what you want to be a little star in my life."

-Lalisa Bintari-

_________________________________

ABI tersenyum riang, menyambut cerah pagi. Berjalan layaknya anak kecil yang berlarian di taman. Hari Jumat. Hari yang ditunggu sebagian siswa di penghujung pekan. Matahari menampilkan terik cahaya. Burung bernyanyi menyambut pagi yang sejuk. Bunga-bunga bermekaran menyemprotkan aroma wangi yang hanya bisa dibau oleh lebah.

Abrar menyerngitkan dahi menatap gadis yang bertingkah seperti anak kecil. Seakan tidak ada beban apapun di pundak mungil itu. Pernah terlintas di benak Abrar, mengapa ia dipertemukan dengan gadis bodoh bernama Abi?

Kadang alam mempertemukan tanpa memberi alasan yang tepat. Memisahkan tanpa berucap sepatah kata. Seakan tega menatap perih yang mengumpul di pelupuk hati. Namun, percayalah! Tuhan memiliki skenario terbaik dari segala skenario yang diciptakan oleh manusia.

"Abrar, tadi pagi sarapan apa?"

Abrar menaikkan satu alis. "Nasi."

Abi terkekeh. "Hehe.. cuma nanya."

Abrar menghembuskan napas kasar. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap Abi yang jauh dari batas normal.

"Abrar, tadi pagi ada pelangi." Abi tersenyum. "Tadi malem hujan, ya?"

"Hmm."

"Pasti Abrar masih ngiler di kamar pas hujan tadi pagi, iya kan?"

Abrar menatap Abi datar. "Sok tahu."

Abi menggaruk rambut yang tidak gatal. "Abi asal nebak. Kali aja bener kayak orang indigo."

Biarkan Abi berbicara sesuka hati. Membicarakan sesuatu yang dapat dimengerti oleh otaknya. Abi melangkah riang menuju kelas XII IPA 3. Jam menunjukkan pukul 06.30. Sekarang, ia terbiasa berangkat pagi. Berkat Abrar, Abi berubah. Abi harus mengucapkan terima kasih sebanyak seratus kali untuk perubahan yang signifikan dari seorang Lalisa Bintari.

Abi menoleh ke arah Abrar. Ia masih mencintai cowok itu. Bukan karena harta ataupun ketampanan. Melainkan karena rasa nyaman yang hinggap di hati sejak Abi berusia lima tahun. Lucu, membayangkan anak TK sudah mengerti tentang rasa suka. 

"Cewek centil itu nempel terus ya sama Kak Abrar. Jadi, benci gue! Sok cantik banget."

Abi mendengar ucapan itu. Sangat jelas. Hampir setiap hari ia harus mendengar keluhan tak bermutu. Seperti nasi yang disuguhkan di pagi hari, namun tidak layak untuk dimakan karena sudah basi. Kuping Abi memanas. Ia juga punya batas kesabaran.

"Iya, gue juga. Dia itu kakak kelas tapi gak patut dicontoh. Seharusnya kepala sekolah gak ngizinin dia sekolah di sini. Enek gue liat muka sok cantik dia."

"Emang gue cantik. Kenapa? Sirik? Bilang aja kali, gak usah ngomong di belakang." Abi berdiri di depan dua perempuan itu. "Lo itu pengecut. Cuma berani ngomong di belakang doang. Gue diem karena gue gak pengen punya masalah sama kalian. Tapi ternyata kalian ngajak ribut?"

Kedua perempuan itu sama-sama kelimpungan. Menanggapi perkataan Abi yang tiba-tiba menyerang. Mereka tidak menyangka, Abi akan angkat bicara. Pasalnya, selama ini gadis itu selalu diam dan cenderung cuek dengan keadaan sekitar. Namun, mengapa sekarang berbeda?

Abi dan AbrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang