"Rasa ini nyata,
Bukan bualan atau ilusi
dalam dimensi alam bawah sadarku,"-Lalisa Bintari-
_____________________________
MENTARI pagi mulai beranjak dari peraduannya. Menunjukkan betapa terik dan hangat cahaya yang ia punya. Abi merasakan nyeri di punggung karena terlalu lama membungkuk untuk melaksanakan hukuman. Ia menggerakkan pinggang ke kanan dan ke kiri agar rasa nyeri di punggung berkurang.
Matahari yang terik membuat peluh Abi menetes satu persatu. Ia mengusap peluh yang menetes dengan punggung tangan. Sejenak Abi melihat Abrar berjalan ke arah pohon beringin dan duduk di bawahnya. Menyandarkan punggung dan memejamkan mata menikmati hembusan angin yang menerpa wajah tampan itu.
Sebernarnya, Abi merasa bersalah. Abrar dihukum karena ia tidak bisa bangun pagi. Padahal Abrar bisa saja meninggalkannya dan berangkat sekolah terlebih dahulu dengan kendaraan mewah. Tetapi Abrar memilih berangkat dengan Abi menggunakan sepeda dan berakhir dengan hukuman.
Abi melangkahkan kaki menghampiri Abrar. Duduk di samping cowok berparas Eropa itu. Abrar membuka mata karena menyadari kehadiran Abi.
Hening. Abrar memandang ke depan tanpa berniat sedikitpun untuk mengajak Abi berbicara. Abi menghela napas berat. Ia tahu, Abrar tidak akan memulai pembicaran terlebih dahulu.
"Abrar marah?" Abi akhirnya mengalah dan mengajak Abrar berbicara.
"Enggak." Abrar memandang ke depan, enggan memandang Abi.
"Abi minta maaf karena menunggu Abi, Abrar jadi dihukum." Abi menunduk, merasa bersalah.
"Enggak papa."
"Kenapa Abrar memilih menunggu Abi dan berakhir dihukum? Padahal Abrar bisa saja meninggalkan Abi dan datang ke sekolah tepat waktu."
"Gue hanya melakukan apa yang pengen gue lakukan."
"Meskipun berakhir dihukum?"
"Iya."
Hening. Abi terkejut dengan jawaban Abrar. Mungkin jika orang lain, ia akan memilih meninggalkan Abi daripada menunggu dan berakhir dihukum. Apalagi hampir setiap hari Abi dihukum karena terlambat. Tetapi Abrar berbeda. Sikap Abrar itu membuat Abi senyum senyum sendiri, seperti orang kurang belain.
"Ngapain senyum?" Abrar menyadari tingkah laku Abi yang tidak jelas.
"Enggak papa kok." Abi tersenyum. Abrar menaikkan satu alisnya atas jawaban Abi.
Keadaan kembali hening. Hanya suara daun yang bergesekkan dan burung berkicau yang terdengar. Abi masih dengan pikirannya yang entah melayang ke mana. Sedangkan Abrar tak peduli dengan Abi yang senyum sendiri, seperti orang gila.
"Abrar.."
"Hmm,"
"Lihat! Kalo ada awan pasti ada langit. Baik saat awan mendung ataupun saat awan cerah, langit selalu ada di sampingnya," Abi menunjuk langit biru yang cerah.
Ucapan Abi membuat Abrar mengikuti arah yang ditunjuk gadis itu kemudian menoleh ke arahnya. Melihat Abi menunduk sambil memilin jari-jari mungil. Seakan kegugupan sedang melanda seluruh tubuh kecil itu. Abrar menunggu Abi melanjutkan kalimat yang sepertinya tertunda.
"Abi akan selalu ada buat Abrar seperti langit yang selalu ada buat awan,"
Abi mendongak dan menatap Abrar tepat di manik mata. Menunjukkan keseriusan yang ada pada dirinya kepada Abrar. Lagi, Abi mengembangkan senyum termanis untuk pertama kali. Abrar beruntung mendapatkan senyum termanis gadis itu. Mata Abi menyipit menunjukkan bahagia yang tiada tara saat bersama Abrar. Setiap detik, menit, bahkan jam yang ia lalui bersama Abrar adalah sesuatu yang berharga. Sesuatu yang harus ia jaga karena suatu saat bisa saja semua tak lagi sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abi dan Abrar
Teen Fiction[SELESAI] Mencintaimu bukan perkara yang mudah. Aku harus melewati jalan berlumpur dan penuh lubang. Jika aku salah langkah sedikitpun, maka aku akan jatuh dalam kubangan lumpur yang kau ciptakan. Hingga aku memahami; betapa sulitnya sebuah perjuan...