Sepertinya keputusan untuk langsung pulang kerumah adalah hal yang salah. Niatnya agar tidak bertemu dengan Barra, efek kejadian dua hari lalu. Ternyata gagal karena nyatanya sosok yang ingin dia hindari itu sedang duduk dikursi teras sambil menelpon.
Dengan langkah malas akhirnya Krasiva keluar dari mobil dan berjalan langsung masuk kedalam rumah tanpa menengok --mengabaikan kenyataan kalau disana ada Barra.
Barra yang sedang menelpon langsung mematikan sambungan ketika melihat gadis yang dia tunggu-tunggu datang. Seketika dia menghela nafas berat begitu melihat Krasiva mengacuhkannya.
"Krasiva." Bukannya berhenti atau sekedar menengok ketika mendengar panggilan Barra. Krasiva malah pura-pura tidak dengar. Barra yang melihat itu langsung menyusul putrinya yang sudah berjalan menuju tangga.
"Krasiva, berhenti."
"Krasiva Anastasya! Papah bilang berhenti!" Benar saja, gadis itu berhenti melangkah saat langkahnya sudah sampai di anak tangga kedua. Krasiva berbalik dengan alis terangkat satu.
"Kenapa?"
"Maafkan papah karena marah sampai--"
"Sampai nampar aku?" Krasiva tergelak, rasanya kembali perih ketika terpaksa harus mengingat kejadian tempo hari.
"Maafkan papah."
"Lupain aja." Malas berlama-lama berbicara soal kejadian itu, Krasiva memilih mengakhiri.
"Sebenarnya papah khawatir, Krasiv. Apalagi waktu melihat wajah kamu yang terluka."
"Aku bilang lupain aja, lagipula semuanya udah terjadi. Kalo papah nanya apa aku gak menyesal, maka jawabannya iya. Aku gak menyesal sama sekali karena aku gak salah."
"Bagaimana mungkin kamu gak salah? Kamu berkelahi! Pulang malam dan ketahuan bolos sekolah. Apa salah kalau papah marah?" Barra mulai terbawa emosi. Krasiva yang wataknya tak berbeda dari Barra, akhirnya ikut terbawa emosi juga.
"Papah gak salah kalau aku emang melakukan kesalahan. Tapi disini masalahnya aku gak melakukan apapun. Papah egois, gak mau denger penjelasan aku dulu."
"Maksud kamu ap--"
"Udahlah pah! Lupain aja, Krasiva malas memperpanjang." Setelah mengatakan itu Krasiva pergi berlalu. Melanjutkan langkahnya kelantai atas, menenangkan diri.
>•<
Arkara mesuh-mesuh sekarang. Tatapannya kosong kedepan, hampa. Sudah berkali-kali ia ditegur Raka karena terlalu berisik. Pasalnya laki-laki yang sedang menangisi keadaannya didalam kamar itu sedang menyalakan lagu dangdut dengan volume sangat keras.
"Ya Tuhan, Arka kangen sama si item." Mata Arkara terus saja menatap kedepan, tempat dimana biasanya perlengkapan PlayStation nya berada.
"Papi jahat! Arka dipisahkan dari si item, huhuhu."
"Arka! Woi! Kambing, lagu lo kecilin gue lagi hapalan!" Teriak Raka sambil menggedor-gedor pintu kamar Arkara yang dikunci dari dalam.
"Kembalikan anakku padakuuuu."
"Mamaaaaaaa Arka ngerusuh!!" Arkara tak peduli meski Raka mengadu. Toh asalkan bukan sama papi, dia biasa saja.
"Arka! Arkara Angkasa!" Bukan lagi suara Raka. Tapi suara Marina.
"Mamiii kembaliin si itemmm." Arkara akhirnya membuka pintu kamarnya, membuat Marina melotot karena Arkara belum mengganti seragam sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkrasiv ☑️
RomansaTentang perjuangan untuk mendapatkan, namun yang pada akhirnya dia lepaskan. Krasiva benci peduli dan percaya pada orang lain. Lalu Arkara datang, mengubah yang asing menjadi biasa. Namun sayang, hal biasa tadi kemudian berubah lagi menjadi asing...