Seorang gadis dengan terusan sutera putih yang melambai-lambai kala angin menghempaskan-nya, rambut panjangnya berkibar bersama angin malam yang bertiup dingin. Napasnya berderuh keras seiring langkahnya yang cepat. Ia menatap bangunan didepannya penuh harap. Kakinya menjejak lantai kayu dan langkahnya menggema dalam lorong ruangan yang akan menghantarkannya pada kamar itu. Ia menerobos dua pengawal yang berdiri disamping kiri-kanan pintu. Membuka pintu dengan keras bersamaan deruh napasnya yang nyaris putus karena terlalu lama berlari.
Matanya berpandangan dengan sosok itu. Duduk bersila didepan meja kecil dengan punggung tegak. Balik menatapnya dengan tatapan elang khas miliknya. Sebuah buku terbuka diatas meja menandakan ia baru saja menganggu kegiatan sosok itu. Beserta secangkir teh hijau yang tersisa setengah dan lilin di sudut meja.
Salah satu pengawal masuk, dia menundukkan kepalanya ke arah sosok didepan mereka, “Maaf kan hamba Yang Mulia. Saya akan menarik Selir Mei untuk keluar.”
Isyarat tangan itu menghentikan gerakan sang pengawal dari menarik lengan Mei.
“Biarkan dia disini.” Suara itu dalam dan seakan memiliki aura magis yang akan membuat siapapun yang mendengar mematuhinya. Sang pengawal keluar dan tinggallah Mei didalam ruangan itu dalam kukungan tatapan yang seakan akan menelanjanginya.
Mei terduduk karena tak kuat lagi berdiri, kedua tangannya gemetar. Ia menahan bendungan dalam air matanya, lalu berucap lirih, “Tolong...tolong aku. Mereka mau membunuhku...Yang Mulia Zhang.”
“Siapa?” kaisar Zhang menutup bukunya.
Mei menunduk dan ragu-ragu berucap. Ia memandang Zhang, “Yang Mulia Ibu Suri...” ia menggigit bibirnya. Takut jika jawaban yang ia peroleh tidak sesuai dengan harapannya.
“Mungkin kau hanya sedang bermimpi. Tidurlah, ini sudah larut malam.” Kaisar Zhang bangkit berdiri. Jubah sutera nya menyisir lantai.
Mei menggeleng ikut berdiri, “Tidak. Aku mendengarnya sendiri. Mereka akan menyerang kerajaan ayahku setelah itu baru membunuhku. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka.”
Ada kilat melintasi mata kelam itu, namun mimik wajahnya datar tanpa ekspresi, “lalu?”
“Tolong aku, aku tidak mau itu terjadi.” Mei berucap gusar.
Zhang melangkah tanpa suara, jubah sutera nya bergemerisik pelan. Mei menunduk melihat keberadaan Zhang yang semakin mendekati dirinya. Lalu dirasakannya sebuah tangan kokoh berjemari panjang mendongakan dagunya, langsung bersitatap dengan pandangan tajam yang seolah menghujam nya. Ia menelan ludah gugup. Ini adalah kedekatan intim pertama kali semenjak ia menjadi selir di istana ini. Tanpa sadar matanya menelusuri bingkai wajah sang Kaisar. Dimulai dari rambut hitam legam panjang nan lurus, alis tebalnya, lalu hidung mancung, bibir tipis dan rahang keras dengan dagu agak lancip.
“Kau lupa, kalau aku adalah cucunya.” Suara dalam itu seakan menyadarkannya dari keterpakuan.
Mei membasahi tenggorokannya, “Tapi...tapi Yang Mulia berbeda.”
Zhang menarik sudut bibirnya, kemudian berbisik di dekat telinga Mei, “Ya, aku memang berbeda. Karena rencana dan perintah itu berasal dariku dan mereka yang melakukannya.”
Darah seakan raup dari wajah Mei. Lidahnya kelu bahkan tidak bisa mengatakan apapun setelah Zhang memberinya pandangan tanpa ekspresi dan berbalik menuju peraduannya. Orang yang dipercayainya, dan satu-satunya harapan terakhirnya malah adalah otak dari semua tindakan keji ini. Ia menyeret langkahnya meninggalkan tempat itu. Menunduk dan tak kuasa lagi menahan laju air matanya. Ia membekap mulutnya yang terisak seorang diri. Menangis dan terduduk di tengah halaman istana. Tangannya mencengkeram rerumputan sangat erat, menyalurkan ketidakberdayaan-nya. Angin-angin malam bertiup pelan membelai wajahnya yang basah oleh air mata. Awan-awan terus berarak melintasi langit malam lalu menggumpal diatas hingga menutupi cahaya rembulan. Entah sudah berapa waktu ia habiskan untuk menangis, ia mengusap jejak air mata di pipinya. Lalu berjalan gontai menuju paviliun miliknya tapi langkahnya terhenti menatap ke depan sudah ada beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam dengan sebagian wajah tertutupi kain.
Firasatnya mengatakan hal buruk. Ia langsung lari ketika orang-orang tak dikenal itu mendekat. Sekitarnya sangat sepi, bahkan tidak ada penjaga sama sekali seperti yang sering dilihatnya malam-malam kemarin. Ini seperti sudah di rencanakan. Tapi, haruskah secepat ini? Oh, jangan lupakan barusan tadi ia mengatakan hal terlarang itu pada orang yang salah. Jadi kemungkinan pembunuhannya dipercepat.
Langkahnya sudah keluar dari istana. Memasuki jalan kecil dimana deretan rumah penduduk. Bersembunyi dari dinding satu ke dinding lain. Menyambung napas yang nyaris putus. Ia berlari lagi kala mendengar suara langkah kaki. Masuk ke dalam hutan, dimana tidak ada setitik cahaya pun disana. Hanya mengandalkan sinar bulan untuk mengambil langkah. Suara jangkrik bergema cukup keras. Dan bayangan cabang-cabang pohon menjadikan hutan ini semakin seram. Berharap saja, orang-orang suruhan yang ditugaskan membunuhnya tidak mengikutinya sampai kemari.
Namun doa itu tidak terkabul. Detik selanjutnya, ia melihat kobaran api dalam obor yang digunakan sebagai penerang mulai memasuki hutan. Mei melangkah semakin dalam, ia terseok-seok. Berkali-kali kakinya menginjak batu kerikil tajam dan patahan ranting. Meringis menahan sakit karena kakinya tak memakai alas sama sekali. Sampailah ia diujung hutan, tak ada jalan lagi. Hanya ada jurang dengan laut lepas setelahnya. Bunyi deburan ombak dan aroma garam terciup pekat. Tubuh Mei berjengit mendengar gesekan benda besi. Ia berbalik dan langsung disuguhi kilat dengan ujung tajam terarah padanya dengan jarak sepulu senti dari arah dagunya. Rupanya bunyi gesekan itu berasal dari pedang yang dikeluarkan dari sarungnya. Ia mundur perlahan sampai terpojok ke ujung tebing. Dan dari sudut matanya bukan hanya satu yang menodongkan pedang padanya, ada di sebelah kiri dan kanan tubuhnya lalu dua yang lain dibelakang sana sebagai pengamat situasi.
“Apa salahku? Kenapa kalian ingin membunuhku?” Mei menangis bercampur frustasi.
Tak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia mendengar suara kaki kuda, secercah harapan tampak dimatanya namun sirna saat wajahnya mendongak bukan warga penduduk yang bisa ia mintai tolong tetapi wajah angkuh Zhang yang duduk diatas kuda hitam itu.
“Apakah kau datang kesini untuk membunuhku dengan tangamu?!” bentak Mei marah.
Ujung pedang langsung menyentuh dagu Mei. Tapi ia tak takut, ketakutan sudah hilang dari hatinya semenit yang lalu. Dengan tatapan nyalang penuh kebencian ia melihat Zhang untuk terakhir kalinya.
“Kau monster dan iblis paling hina! Terkutuk lah kau!”
Sebelum pedang menebas lehernya, Mei sudah menjatuhkan dirinya sendiri ke arah tebing. Ditarik gravitasi bersama angin yang terus menampar dirinya lalu tenggelam dalam lautan. Lalu disusul gulungan ombak menabrak karang. Tubuhnya lenyap ditelan malam. Zhang yang menyaksikan itu semua tak bergeming dari tempatnya. Ekspresi kaku seperti biasanya. Ia menarik tali kekang kuda dan meninggalkan tempat itu seakan tak terjadi apa-apa. Dibelakangnya, orang-orang berpakaian serba hitam mengikuti.
✍✍✍
14 Juli 2018
Sabtu
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dear Coldest King [END]
FantasyUpdate setiap jum'at Aya seorang gadis tomboy, bertingkah kasar dan berwatak keras. Mengalami kecelakaan dan terbangun dalam sosok yang baru. Selir Mei Li. begitulah mereka menyebutnya. Mei Li, seorang gadis lemah, ramah dan juga baik. Berparas cant...