Part XXXI

40K 3.8K 177
                                    

"Ay ... "

Aya menghentikan ucapannya. Ia menoleh ke arah Kaisar Zhang yang tengah menatapnya juga. Matanya melebar. Mulutnya terbuka. Dalam seperkian detik keterkejutan yang membawa hening dan degub jantungnya berdetak. Aya tersadar. Ia membuang wajah dan cepat-cepat meralat jawabannya.

"Tentu saja Mei Li." Teriaknya lantang. Wajahnya terlihat meringis dan senyuman bodoh di ujung bibirnya. "Kenapa kau bertanya begitu?"

"Mei Li anak tunggal."

Dan, Aya terdiam untuk kedua kalinya. Pikirannya berputar sangat cepat mencari alasan. Tunggu, sejak kapan mereka berhenti melangkah? Dan kenapa mata itu terus mengamatinya? Ini tangan bisa dilepas nggak ya? Buat orang tambah gugup saja.

Aya fokus!

"Oh, Kinanti itu adik sepupuku. Dia sudah ku anggap seperti adik sendiri hehehe ..." kekehan Aya layaknya menambah kebodohan di wajahnya. Dibarengi tarikan senyum meyakinkan yang berusaha ia buat semanis mungkin.

"Yang aku tahu, sepupu Mei laki-laki semua."

Ucapan lugas itu melunturkan senyuman Aya. Ia mengerjab-ngerjabkan mata. Memasang wajah cengo. Ini orang ada aja buat bantah jawabannya. Entah, ia yang salah. Atau saat ini, Kaisar sedang mengujinya. Tapi, berhubung dia memang tidak tau silsilah keluarga Selir Mei. Mungkin dirinya yang salah.

"Ah, saat aku pergi berkunjung kesana, ternyata sepupuku bertambah satu lagi."

Kaisar Zhang tak menanyai lebih lanjut. Ia hanya memberikan senyum miringnya. Dan Aya ketar-ketir melihat itu. Salah-nggak, salah-nggak, bodoh ah.

Mereka melanjutkan langkah. Dan sampailah pada halaman Paviliunnya. Kehangatan terlepas dari tangannya. Angin mengisi celah-celah jemari. Aya melirik, tangannya yang tak lagi digenggam oleh Kaisar Zhang. Kok terasa beda?

"Masuklah, malam sudah tiba."

Aya menoleh dan bertatapan langsung dengan kedua mata Kaisar Zhang yang juga menatapnya. Saling memandang dalam diam. Dan belum ada yang berniat untuk memutus pandangan pertama kali. Melihat Aya yang masih terpaku dengan apa yang dilihatnya, diartikan Kaisar Zhang sebagai undangan tak tersirat. Ia melangkah mendekat. Mengikis jarak wajah. Mengumbar senyum tipis seraya berbisik disamping memiringkan kepala.

"Kenapa?"

Suara halus selembut sutra itu membuat Aya menatap mata Kaisar Zhang semakin dalam.

"Aku baru tahu kalau mata beriris coklat terang tertimpa sinar matahari itu sangat cantik."

"Jadi, kau terpesona?"

"Iya."

Senyum di bibir Kaisar Zhang terkembang lebar. Ia mengurangi jarak yang telah berkurang. Di lihatnya Aya yang masih terhanyut.

"Jadi?" Bisik Kaisar Zhang dengan nada mengundang. Tangan Aya sudah terangkat menuju sudut mata Kaisar Zhang. Pria itu memejamkan kelopak matanya menikmati jari yang menelusuri alis tebal lalu berhenti di bawah kantung mata.

"Jadi, boleh kita saling tukar mata?"

Tik ... tok ...

Senyum dibibir Kaisar Zhang hilang. Ia menjauhkan tangan Aya dari jangkauan matanya. Menegakan posisi tubuhnya lagi. Dan mendorong kening Aya agar menjauh.

"Masuk sana."

Aya memberengut. Matanya masih tak lepas dari kedua coklat terang Kaisar Zhang.

"Sekali saja? Nanti kita tukar lagi kalau aku sudah bosan."

"Kau, jika mau gila tidak perlu mengajak orang. Sana masuk. Sudah hampir malam."

"Jadi tidak boleh?"

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang