Part XIX

51.1K 4.8K 315
                                    

Jamuan telah bubar sejam yang lalu, Aya tengah mengejar Peramal Biksu. Ingin menuntaskan rasa penasarannya dan juga mungkin orang itu bisa menolongnya. Kembali pulang ke masanya.

Matanya mengedar melihat sekeliling yang ramai. Ia menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi. Dan menemukan pria memakai lembaran kain lebar berwarna orange. Membalut sekeliling tubuhnya. Ujung kain itu tersampir ke bahu, menjuntai panjang. Meliuk bersama hembusan angin. Aya langsung bergegas cepat.

Ia melangkah panjang, "Tunggu, Peramal Kuil Tse!"

Laki-laki biksu itu menghentikan langkah, ia menoleh dan sontak terkejut tak menyangka anggota kerajaan akan memanggilnya bahkan mengejar dirinya. Perasaan tak enak menyusupi bathinnya. Ia memberi hormat. Matanya menggambarkan penyesalan.

"Hamba Yang Mulia Selir Mei. Maaf sudah berlaku tidak sopan."

Aya mengangkat tangan dan melambaikan, "Tidak apa, aku sudah biasa seperti ini." ia mengatur nafas, lalu menatap Peramal Kuil itu dengan serius, "ada yang ingin ku tanyakan."

"Hamba bersedia menjawabnya Yang Mulia Selir Mei."

"Kau, tau aku dari masa yang berbeda?" Aya memicingkan matanya.

"Begitu yang hamba lihat."

"Bisakah kau membawaku pergi ke masaku?" Kali ini suaranya berganti penuh harap.

Biksu tua itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum penyesalan, "Hamba hanya seorang peramal. Penglihat masa depan. Bukan Sang Pembuat takdir. Apalagi merubah kehendak dewa. Hamba hanya makhluk yang lemah. Yang dianugerahi setitik kelebihan diantara berjuta-juta kekuasaan-Nya. Maafkan Hamba tidak bisa menyanggupi kehendak, Yang Mulia Selir." Ia membungkukkan badannya.

"Itu bukan salahmu. Terimah kasih sudah menjawab pertanyaanku." Wajah Aya terlihat lesu.

✍✍✍

"Mengecewakan."

Jemari Selir Ming meremas roknya. Kepalanya menunduk. Tidak ada setitik emosipun di wajahnya. Mempertahankan raut mukanya yang datar. Ia mendengar semua kekesalan itu dan menelannya bulat-bulat.

"Apa yang kau lakukan selama ini?! Bermain-main?" Kepala Menteri Yuan membentak sarkas.

"Aku sudah melakukan semampuku, Ayah." Selir Ming membela diri.

"Mana hasilnya? Tidak ada apapun yang ku terima. Justru malah, Selir tak tau diri itu malah menjadi Pemaisuri." Kepala Menteri Yuan menatap mencemooh.

"Itu hanya ramalan." Selir Ming mempertahankan argumennya.

"Lalu, kau akan diam saja di paviliunmu yang nyaman ini? Dan membiarkan ramalan itu terjadi?"

"Setidaknya Ibu Suri sudah ada di pihakku. Aku akan berusaha untuk kedepannya."

"Nenek tua itu tidak memiliki kekuasaan apapun! Kau harus merebut posisi Pemaisuri dengan cara apapun! Jika tidak, Ayah sendiri yang akan bertindak. Ku dengar, Bei Xing sudah remaja. Mungkin, anak Pamanmu memiliki potensi untuk mengambil bagian dari istana ini."

Selir Ming mengingat keponakan perempuannya itu. Gadis nakal yang selalu memakai barang-barangnya tanpa izin.

"Ayah tidak bisa melakukan ini padaku."

"Ayah akan melakukannya, jika itu menjaga kelangsungan nama keluarga kita di istana ini." Wajah Kepala Yuan menunduk, mendekat ke putrinya. Ia berbisik rendah. Matanya berkilat penuh ambisi.

✍✍✍

"Kemarilah, Mei." Kaisar Zhang melirik Aya yang duduk merapat pintu.

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang