Aya masih menjadi sosok pendiam saat tabib menghampirinya di paviliun miliknya.
"Bagaimana?" Tanya sosok yang sedari tadi duduk menunggu hasil pemeriksaan.
"Hanya luka-luka luar, Yang Mulia. Tidak ada cidera serius. Mengenai kaki Selir Mei yang patah, itu tidak benar. Persendiannya bergeser sedikit. Seperti di tekan dengan keras. Hamba sudah meluruskan persendian itu, tinggal menyiapkan obat dalam. Dan untuk luka-luka luar hamba sudah meracik ramuan herbal. Bisa di oleskan tiga kali sehari." Terang Tabib Lin.
"Kemari," Titah Kaisar Zhang ketika Tabih Lin mendekati Aya untuk mengoleskan obat di lukanya.
"Ya, Yang Mulia." Tabib Lin menghampiri, mata tuanya melirik bingung.
"Itu obat olesnya kan?" Jari telunjuk Kaisar Zhang mengarah ke kotak kayu kecil dalam genggaman tangan Tabib Lin.
"Iya, hamba berniat untuk mengoleskan salep ini ke luka-luka Selir Mei."
"Biar aku saja." Cegah Kaisar Zhang.
Aya mengangkat wajah dan memberi kode menyilangkan tangan pada Tabib Lin yang memandangnya.
Kaisar Zhang menoleh. Sontak Aya meneruskan gerakannya. Menepuk-nepuk tangan di udara.
"Banyak sekali nyamuk disini." Gerutu Aya seraya menepuk sekitarnya.
Tabib Lin memberikan ramuan salep itu ke tangan Kaisar Zhang. Lalu Kasiar Zhang mendekati Aya yang sontak beringsut mundur. Mata mereka saling berpandangan. Kaisar Zhang dengan praduganya dan Aya dengan kernyitan halus di keningnya. Saling menyelisik di benak masing-masing. Mengira-ngira apa yang dipikirkan satu sama lain.
Aya memutus pandangan, terlalu riskan menatap mata kelam itu berlama-lama. Seperti ada yang menarik dan memaku dirinya untuk tenggelam dalam iris coklat terang itu. Beberapa detik berlalu canggung. Tabib Lin merasakan ia tidak dibutuhkan lagi. Ia membungkukkan setengah badannya.
"Hamba undur diri, Yang Mulia." Mengambil langkah mundur, Tabib Lin keluar dari ruangan setelah isyarat tangan Kaisar Zhang mengijinkannya.
"Kau, " ucapan Kaisar Zhang menggantung, tatapannya mengamati Aya yang mendongak melihat dirinya. Pandangan perempuan itu tidak bisa berbohong, ada ketakutan dalam iris mata itu.
"Takut padaku?" Lanjut Kaisar Zhang.
Aya membuka bibirnya, namun urung bersuara. Bibirnya tetap bungkam. Sebagai gantinya, ia mengalihkan pandangan. Berusaha tidak menatap mata tajam Kaisar Zhang.
"Aku tidak akan menyakitimu. Kau bisa memegang kataku."
"Pria dan janjinya adalah kombinasi buruk untuk dipercayai. Apalagi pria yang memegang jabatan pemimpin. Rasanya perutku sudah kenyang bahkan mual untuk menelan kata-kata yang diucapkan mereka." Ucap Aya bosan.
"Aku tidak berbicara sebagai seorang pria atau pemimpin. Tapi, aku berbicara sebagai kekasih kepada wanita yang dicintainya."
Aya langsung tersedak lalu batuk beberapa kali. Setelah reda, ia menatap Kaisar Zhang yang memasang wajah serius. Namun segara memalingkan wajahnya, jantungnya berdetak janggal. Dan rasa gugup yang muncul tiba-tiba. Jelas ini pertanda tidak baik.
Ayolah, kenapa kau bersikap memalukan ini, Aya? Kemana sifat pemberani itu? Terkubur dimana dia? Sial, kenapa detak jantungnya belum normal juga?
Melihat reaksi Aya yang diam, Kaisar Zhang mulai mendekat lagi. Perempuan itu tidak bergerak, masih di tempatnya. Memegang kaki wanita itu lalu mengoleskan salep ke luka-luka Aya. Sepanjang pengobatan itu, Aya lebih banyak membisu. Dan menurut. Tidak menberontak seperti biasanya. Sorot ketakutan dimata perempuan itu perlahan berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dear Coldest King [END]
FantasyUpdate setiap jum'at Aya seorang gadis tomboy, bertingkah kasar dan berwatak keras. Mengalami kecelakaan dan terbangun dalam sosok yang baru. Selir Mei Li. begitulah mereka menyebutnya. Mei Li, seorang gadis lemah, ramah dan juga baik. Berparas cant...