Part XLVII

32.9K 3.1K 129
                                    

"Kenapa berhenti? Ayo cepat jalan."

Bian mengangguk patuh. Ia mengelus dadanya yang berdetak kencang. Laki-laki ini bahaya!

"Aku masih tidak mengerti alasan kau mengajakku kemari. Dibanding ke kedai, biasanya kau segera tidur setelah habis bertugas. Kau menolak semua tawaran kami, lalu kenapa tiba-tiba kau mengajakku?" Tanya Bian heran setelah mereka mengambil tempat duduk di salah satu kedai pinggir jalan.

"Kau ini tidak bisa diam ya?" Jenderal Li mengangkat tangan untuk memanggil pelayan.

"Aku cuman risih saja, akhir-akhir ini banyak yang mengunjungi rumahku. Makanya lebih baik kabur daripada mendengarkan ocehan mereka." Lanjutnya yang akhirnya memberi penjelasan.

"Mereka siapa?" Bian menaikkan alisnya penasaran.

"Sudahlah, anak kecil tidak boleh tahu."

"Tidak lihat badanku sebesar ini?" Dengus Bian.

"Iya lihat, cuman kakinya saja yang tidak terlihat. Terlalu pendek dan gemuk. Mirip kaki babi."

"Apa?!" Bentak Bian jengkel.

"Makanannya sudah datang. Ayo, habiskan."

"Aku mau pulang saja." Sungut Bian.

"Begitu saja marah. Mirip perempuan."

"Isshh... dasar Jenderal bodoh." Umpat Bian kesal. Ia menarik sebagian makanan ke wilayah meja miliknya. Hanya menyisahkan arak untuk Jenderal Li. Dan memulai makan dengan rakus. Aroma lezat daging panggang, sejenak membuatnya lupa dengan rasa kesal yang sempat menghampiri.

"Kau membawaku kesini bukan karena patah hatikan?" Tambah Bian menyuarakan pemikiran yang sempat tercetus dibenaknya.

"Patah hati?" Ulang Jenderal Li.

"Aku malas mendengar curhatan pria yang patah hati gara-gara orang disukainya berjodoh dengan orang lain." Bian terkekeh melihat raut masam Jenderal Li.

"Bicara lagi seperti itu, ku pindahkan kau ke asuhan Jenderal Yun."

"Jangan! Bisa tinggal tulang aku jadi bawahannya. Jenderal Yun sangat keras mendidik bawahannya. Aku tidak mau."

"Makanya diam. Nikmati makanan yang ku pesan."

"Wah, ini ditraktir?" Muncul binar-binar senang di iris mata Bian.

"Kalau mau bayar sendiri tidak apa?"

"Ah tidak-tidak, aku akan makan. Tapi, boleh nambah lagi?" Bian menggeleng-geleng kuat. Kemudian menyengir.

"Sepuas yang kau mau."

"Wah bibi, tambah tiga piring lagi. Dan duanya di bungkus." Teriaknya keras.

"Coba seperti ini setiap hari. Aku bisa jadi tinggi dan berotot." Lanjut Bian dengan alasan konyol.

"Pelan-pelan makannya. Mereka tidak akan lari kemanapun. Dan dua bungkusan itu untuk apa?"

"Untuk ku bawa pulang. Dan memakannya esok hari."

"Bi, tambah satu bungkus lagi. Dan dua botol arak."

"Itu untukku?"

"Hm."

"Tapi, araknya?"

"Tentu saja untukku. Anak kecil sepertimu tidak boleh menyentuh barang orang dewasa."

"Menyebalkan. Aku tidak tanggung jawab kalau kau mabuk. Langsung ku tinggal."

"Aku kuat minum." Senyum Jenderal Li mengukir pongah.

Beberapa jam kemudian ...

"Sekarang, siapa coba yang mabuk?" Desis Jenderal Li seraya melirik kepala Bian yang terkulai di meja.

"Aku benci ... aku sangat benci ..." racau Bian dengan kepala terkantuk-kantuk.

"Siapa?"

"Ayahku tentu saja!" Teriak Bian. Ia menatap Jenderal Li marah. Ia menepuk dadanya beberapa kali.

"Dari kecil aku harus menuruti kemauannya. Menjadi ini dan itu. Bermain pedang dan dipukul beberapa kali jika melakukan kesalahan. Aku capek. Aku ingin seperti teman-temanku yang disayangi orang tua mereka. Tidak seperti tua bangka itu yang mendidikku sangat keras dan sering bentak-bentak. Tapi, aku tidak punya pilihan. Dan apakah kau tau masa saat aku remaja?"

"Tidak tahu dan tidak mau tahu."

"Ibuku meninggal." Bian mulai menangis.

Mimik wajah Jenderal Li berubah tidak enak. Sebenarnya, ia tadi ingin bercanda. Menjahili Bian saat mabuk rasanya sangat menyenangkan. Namun, penuturan jujur itu membuat candaannya salah tempat.

"Aku turut berduka."

"Tapi, sebulan dari sana. Ia menikah dengan wanita ular itu. Dan semua kesialanku bermula darinya!"

"Lanjutkan." Jenderal Li bersedekap dan mulai mendengarkan.

"Aku hendak di pekerjakannya jadi budak untuk menutupi ekonomi keluarga. Hah, keluarga?! Mungkin untuk menutupi kebutuhan dirinya sendiri dengan putrinya yang sering berdandan itu!

"Hari itu aku bertengkar dengan ayahku. Dan pergi dari rumah. Hidup dijalanan. Tapi, itu lebih baik daripada di rumah dengan kelakuan sok berkuasa itu. Huh! ... sampai aku direkrut menjadi prajurit. Dan bertemu dengan orang baik sepertimu namun cintanya bertepuk sebelah tangan hahaha..."

Ekspresi Jenderal Li berganti datar.

"Kaisar dilawan." Cibir Bian. Yang membuat tangan Jenderal Li gatal untuk memukul kepala Bian agar pintar sedikit.

"Ucapanmu mulai menyebalkan. Ayo pulang."

"Tunggu, aku belum menghabiskan arakku."

"Sudahlah, tiga cangkir saja kau sudah seperti ini apalagi sebotol."

"Bi, ini uangnya." Jenderal Li menyerahkan koin-koin itu ke meja. Lalu mengambil tiga bungkus makanan.

"Terimah kasih."

Jenderal Li beralih ke arah meja dan melihat Bian yang mulai meracau tak karuan.

"Lihat saja kau ... lihat saja ... hahaha ..."

"Bisa berdiri?" Jenderal Li membungkuk disisi tubuh Bian.

Bian menoleh, manatap wajah Jenderal Li dari jarak dekat, "Ternyata kau tampan juga Jenderal Li."

"Jawabannya pasti tidak bisa." Jenderal Li menghela napas. Ia mulai berjongkok. "Ayo naik. Malam sudah larut."

Bian melemparkan tubuhnya begitu saja ke atas punggung Jenderal Li. Pria itu hampir jatuh, mulutnya mendesis. Namun, Bian justru terkekeh lalu menaruh kepalanya di pundak Jenderal Li dan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus.

"Sudah makan begitu banyak. Tubuhmu masih enteng juga."

Jenderal Li membawa Bian ke kamar pria itu. Menggeser pintu dengan kakinya. Lalu meletakkan tubuh Bian ke atas kasur yang terbentang.

Mata Bian terbuka. Tangannya menutup mulut.

"Hei jang---"

Terlambat. Bian sudah muntah dibajunya sendiri dengan setengah kesadaran.

"Anak ini benar-benar ingin menyusahkanku!" Kedua tangan Jenderal Li di sisi pinggang.

"Cepat lepas bajumu. Muntahannya akan mengotori tempat tidurmu."

"Hmmm..." Gumam Bian yang terbaring tidur.

"Tidak membantu."

Jenderal Li duduk, tangannya mulai membuka ikatan hanfu Bian. Melepas lapisan pertama lalu pakaian dalamnya. Namun, tangannya berhenti melihat balutan buntalan kain persegi panjang membebat bagian dada Bian.

"Apa dia tidak sesak?"

Jenderal Li melepas bebatan kain itu. Dan matanya membelalak. Tubuhnya jadi kaku ketika kain itu terlepas sepenuhnya. Wajahnya sontak memerah.

✍✍✍
19 juli 2019
Ada yang nungguin?

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang