Part XLIII

39.3K 3.6K 179
                                    

"Kata-katamu membuatku pusing. Terserah, masalahku sudah banyak. Aku tidak mau menambah beban. Mana araknya?" Aya menadahkan tangannya.

"Daripada melampiaskan dengan cara yang salah, kenapa tidak kau bicara padaku? Aku pendengar yang baik hanya untukmu."

"Memangnya kau sanggup membantuku mengatasi semua masalah yang sudah ku ciptakan?" Desis Aya kesal. Tatapannya menyipit tajam.

"Mungkin iya dan mungkin tidak."

"Kau saja ragu-ragu, bagaimana mau menolong?" Sengit Aya.

"Di dunia ini ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan bahkan sampai orang mati sekalipun. Jika tanpa ada campur tangan Dewa, masalah itu tidak akan pernah selesai. Dia yang memberi masalah maka kepadanya-Lah meminta pertolongan. Bukan aku pesimis atau bagaimana, aku hanya menduga masalah yang kau ciptakan telah diluar kesanggupanku. Aku tidak bisa menghidup dan mematikan atau mengubah jalan takdir seseorang."

"Terbaca sekali ya." Aya mengusap wajahnya frustasi, ia teringat kembali kematian Dayang Yang. Pada saat itu bendungan di matanya tumpah. Mungkin pengaruh alkohol, perasaannya demikian sensitif.

"Kenapa aku harus terdampar di tubuh ini? Ku pikir dengan menyelamatkan takdir kematian ibu dan Ayah Mei. Maka masalah akan selesai, tapi justru nyawa yang tidak bersalah dan tidak harus mati malah menanggung semua ulahku. Aku mengubah takdir namun mematikan takdir orang lain. Entah, siapa lagi yang mati setelah ini. Kenapa tidak diriku saja? Kenapa orang lain yang harus menanggungnya?"

Kaisar bergerak mendekati Aya, mendekap tubuh wanita itu. Membelai kepalanya dengan lembut.

"Aku frustasi saat mengetahui catatan kematian seseorang di sekitarku. Bagaimana mereka akan menghadapinya? Jalan cerita mereka, aku tau semuanya. Aku berada di posisi abu-abu, jika tidak menolong maka mereka akan mati atau jika ku tolong maka ada nyawa lain yang akan menggantinya. Aku stres."

"Aku ingin pulang. Aku merindukan adikku Kinan dan Ibuku. Pasti mereka akan khawatir. Belum lagi, tidak ada yang akan mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. Kinan terlalu kecil, ia harus sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak tidak sepertiku. Ibu sudah tua dan lemah. Tubuhnya tak cukup kuat untuk memikul beban berat lagi. Sewa rumah belum ku bayar, tapi uangnya sudah ada di celenganku. Biaya listrik, air dan belum lagi spp Kinan. Aku harus pulang dan mencari uang."

"Masalah uang, aku bisa membantumu."

"Koinmu tidak berlaku di masaku."

"Memangnya uang yang kau gunakan seperti apa?"

"Kertas. Sudahlah, percuma aku berbicara pada orang yang hidupnya beribu tahun di bawahku."

"Tahun berapa kau tinggal?"

"Kau akan mencariku disana?"

"Jika suratan takdirku menuliskanmya demikian, maka aku akan mencarinya."

"Dengar baik-baik, aku hanya mengucapkannya sekali. Namaku Aya. Aku punya satu adik dan ibuku seorang janda. Kami tinggal di gang kumuh perbatasan kota xxx. Umurku dua puluh tahun, pada tahun 2018. Butuh ribuan tahun untuk melintasi masa tempat aku hidup. Dan kau mustahil masih hidup pada zaman itu."

"Aku akan mengingatnya sampai mati, Aya."

"Mengingat sampai matipun percuma."

"Tidak akan sia-sia apapun yang kita usahakan, semuanya akan memiliki hasil masing-masing."

"Kau mulai terdengar seperti ibuku."

"Kalau begitu, jadikan aku sebagai seseorang yang kau perlukan jika kau membutuhkan sesuatu atau mengalami masalah. Telingaku selalu siap untuk mendengar keluh kesahmu. Tanganku akan terus menggenggam tanganmu. Aku selalu berada di dekatmu apapun yang akan terjadi nanti. Karena hatiku telah kau genggam."

"Ucapanmu sangat manis sekali, Kaisarku. Tapi, posisi pertama dihatiku sudah ada yang mengisi."

"Siapa?"

"Yang kau sebut Dewa, aku panggil Tuhan dalam hidupku."

"Posisi kedua?"

"Ibuku."

"Ketiga pasti Kinan. Siapa yang menempati posisi keempat? Jangan bilang Jenderal Li?"

"Kau ternyata orang cemburuan ya. Jenderal Li tak lebih dari seorang teman."

"Pria goryeo itu?"

"Kau pikir perasaan itu semudah menyukai oreo yang bisa diputar, dijilat terus dicelupin?"

"Oreo? Setelah Pria Goryeo itu, Jenderal li, sekarang oreo? Pria mana lagi itu?"

Aya tercengang. Ia tertawa. Tubuhnya terhuyung akibat mabuk.

"Dengar, aku sulit jatuh cinta. Dan ketika aku sudah jatuh cinta, aku akan sulit melupakan."

"Apakah ada pria yang mengisi hatimu sebelum ini?"

Aya mendongakkan wajah menatap kedua mata Kaisar Zhang. Ia tersenyum miring.

"Mau menjadi yang pertama?" Ia mengerling jahil. Lalu tangannya memegang lengan Kasiar Zhang, mengangkat tubuhnya untuk sejajar pandangan. Kemudian tanpa diduga, ia mendekatkan wajahnya. Mengecup kilas bibir Kaisar Zhang yang terdiam.

Buat yang umurnya masih dibawah 17 disarankan untuk tidak membaca bagian bawah. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan yang takut dosa. Sekedar peringatan.
.
.
.

Terbuyar dari keterpakuan, tangan Kaisar Zhang menyelip ke balik tengkuk Aya. Mendorong wajah itu mendekat kembali ke arahnya. Dan mengulang tindakan Aya. Mengecup bibir Aya beberapa kali. Lalu benar-benar menciumnya. Melumat bibir bergantian.

Aya seakan lupa dengan sisi kesadarannya dipengaruhi oleh alkohol yang merasuk ke dalam tubuh dan menggetarkan bagian-bagian sensitifnya. Ia menerima semua dengan pasrah tanpa penolakan. Jemari tangan Kaisar Zhang masuk semakin dalam, membelai tiap sisi tubuhnya.

Ciuman dibibirnya terlepas. Aya membuka mata merasa kehilangan. Ia menatap Kaisar Zhang yang sudah ada diatas tubuhnya tengah membuka baju sementara ia terbaring berlapis jubah. Dengan kondisi tanpa sehelai benang. Ia merasa ada yang salah. Namun, pikiran itu hilang dengan sirna kala Kaisar Zhang membungkuk dan menciumnya kembali. Lengan-lengan kokoh itu mengukungnya dengan kuat.

Tangan Aya menjalar, mengalun ke leher dan meremas rambut Kaisar Zhang melepaskan kegelisahan yang tengah dilandanya.

Akal sehat kian menipis diantara gelora gairah yang membara. Tangannya merasakan kulit punggung yang berkeringat. Ia kian terbuai kala ciuman itu beralih ke lehernya. Hisapan kuat dibagian sensitif itu membuat pikirannya kosong. Dan tubuhnya seolah menyetujui untuk segera dipuaskan.

Kaisar Zhang mengangkat tubuhnya. Ia menatap Aya yang memandangnya dengan tatapan redup yang membuai.

"Apakah kau bersedia, Aya? Karena setelah ini aku tidak akan menghentikannya walaupun kau menolak. Jadi, sekarang kau bersedia ini berlanjut atau tidak?"

Aya hanya diam. Pikirannya sudah direnggut paksa oleh gairah yang membayangi matanya. Menjadikan dirinya seperti gadis lemah dalam pandangan pria diatasnya.

"Aku anggap diammu sebuah persetujuan." Kaisar Zhang dengan cepat merengkuh kembali wajah Aya. Melumat bibir itu dengan tak habisnya.

✍✍✍
21 Juni 2019

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang