Part VIII

56.3K 5.8K 136
                                    

Jamuan makan telah berakhir beberapa jam yang lalu. Di tengah malam yang sepi, Aya menyendiri di jembatan pendek. Dengan dibawahnya sungai kecil buatan. Beberapa bunga teratai bermekaran sangat indah. Menampilkan kelopak putihnya pada Sang Rembulan yang terlihat redup diatas sana.

Hanfu hijaunya melambai terkena bias angin yang menderu pelan. Dayang Yang dan Dayang-dayang lainnya berdiri tak jauh darinya, menunggu dengan sabar.

Wajah Aya mendongak ke arah langit, memandang cakrawala malam yang mendung. Awan-awan bergumul dari arah barat. Udara dingin yang menyusup kulit, tidak menbuat Aya bergeming dari tempatnya. Matanya menerawang jauh. Membawa pikiran berkelana pergi meninggalkan raga.

Sedang apa ibu dan adiknya disana? Bagaimana kehidupan mereka? Siapa yang membiayai hidup Ibu dan adiknya? Apakah tubuhnya dibawa ke rumah sakit? Atau tidak ada yang menolong raganya disana?

Aya memejamkan matanya, menikmati laju angin yang menderu. Membawa pikirannya serta bersama debu alam semesta. Diantara kerlip bintang yang timbul tenggelam karena pekat. Ia berada di satu titik. Merasakan rindu pada kehidupannya dulu. Pada hidup yang keras padanya. Keringat yang tak letih melumuri kulitnya. Bersama terik matahari yang membakar. Senyum adiknya. Dan tatapan sendu Ibunya. Ia rindukan semua. Aya menarik napas, tapi rasa kosong di dada tidaklah hilang. Hampa. Sekaligus sesak. Tak bisa diungkap dengan kata. Hanya sepi yang mampu berbicara mewakili perasaannya saat ini.

Diantara senyapnya sepi yang membungkam, telinga Aya mendengar sesuatu. Suara desing pedang. Terdengar oleh telinganya namun samar. Ia membuka mata. Bunyi itu masih terdengar. Kecil dan jauh. Mengikuti naluri hati, dirinya melangkah ke arah sumber bunyi.

"Nona, anda mau..."

"Aku hanya sebentar. Biarkan aku sendiri." Potong Aya menghentikan perkataan Dayang Yang.

Aya melangkah menjauh. Derap langkahnya terdengar pelan. Sekeliling terlihat redup, hanya berpenerangan lampion yang digantung di setiap sudut Paviliun. Semak-semak belukar memenuhi kanan-kiri jalan. Bersama pohon-pohon berkanopi lebat menutupi langit angkasa diatas sana.

Suara itu makin keras terdengar. Aya menyibak semak-semak. Membuat cela kecil untuk dirinya melihat.

Shiiing...shiiing...shiing...

Seorang pria tengah mengayunkan Goujiannya membelah udara. Helai rambut panjang hitamnya bertebrangan, menari bersama angin yang membelai. Pakaiannya serba hitam. Matanya tajam seperti bila pedang yang digenggamnya. Tebasannya sangat kuat hingga menimbulkan bunyi desingan. Kakinya bergerak mantap, memasang kuda-kuda lalu melontarkan tubuhnya ke udara.

Aya mengamati semua itu dengan mata tak berkedip. Tertarik dan kagum. Matanya menyipit mengamati sosok disana. Garis-garis kokoh wajah dan pendaran mata yang berbahaya. Terpahat dengan indah di rupanya yang elok. Pria dengan kulit putih berperawakan baju prajurit. Namun sosoknya lebih terlihat seperti...pangeran?

Aya mengerjab. Matanya mengedip beberapa kali, memastikan wajah itu yang terlihat familiar. Kata pangeran menyadarkannya pada sesuatu. Sosok itu seperti pernah dilihatnya tapi dimana?

Tunggu!

Lukisan! Aya menoleh ke arah depan lagi sekadar memastikan bahwa sosok itu memang benar orangnya. Namun, begitu terkejut dirinya. Sebilah pedang sudah ada didepan dagunya. Napasnya tertahan. Degub jantungnya memompa lebih cepat. Tak perlu cermin untuk menunjukkan betapa pias wajahnya saat ini. Karena dirinya sudah melihat bayangan wajahnya di ujung pedang yang berkilat didepannya.

"Siapa kau?" Suara itu membuat Aya mendongak menatap wajah itu.

Dengan sisa kepercayaan diri, kaget dan takut, Aya berdiri perlahan. Membalas tatapan lawannya.

"Kau tidak tau siapa aku?" Baliknya bertanya.

Kurangnya cahaya dan penerangan Sang Rembulan, Pria itu mendekat. Menyelidik. Ketika mengenali wanita didepannya. Ia langsung menyarungkan kembali pedangnya. Menunduk dengan hormat.

"Maafkan atas kelancangan hamba Selir Mei. Hamba tidak tahu bahwa itu anda. Hamba pantas dihukum."

"Kenapa minta maaf? Kau tidak salah. Dan lagi, aku bukan seorang hakim yang memutuskan seseorang bersalah atau tidak."

Dahi pria itu mengerut, seakan tak biasa dengan jawaban Aya.

"Walau bagaimanapun hamba tetap salah Selir Mei. Hamba harus dihukum atas ketidaksopanan saya." Ucap pria itu bersikeras.

"Kau ingin tahu hukuman pantas untukmu?"

"Apapun hukuman itu hamba akan menerimanya."

Seketika bayangan Kaisar Zhang melintasi benaknya, Aya menarik ujung bibirnya, "Kalau begitu, kau harus mengajariku menggunakan pedang sampai aku bisa menjadi hebat."

Pria dihadapannya tersenyum, "maaf mengecewakan, tapi permainan pedang hamba tidaklah hebat." Ia merendah.

"Terserah, yang penting aku bisa menggunakan pedang." Kata Aya tak peduli.

Aya memandang pria itu lagi, seakan teringat sesuatu. Ia berucap ragu-ragu, "Apakah namamu Li Qiang?"

"Benar Selir Mei, panggil saja hamba Jenderal Li."

"Jenderal?" Aya terlihat terkejut, "bukannya...?" Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Aya terlihat berpikir. Dahinya mengerut, mengingat pelajaran sejarahnya. Seharusnya bukan jawaban itu. Tapi, apakah dia melupakan sesuatu? Atau sejarah telah berubah dengan hidup kembali dirinya. Sepertinya, ia harus mengingat semua pelajarannya dahulu, khusus Masa Dinasti Kaisar Zhang Wei.

Jenderal Li mendongak, menatap heran, "Maaf selir, apakah ada yang salah?"

"Tidak." Aya menggeleng.

Malam merangkat naik. Suhu semakin menurun. Bertambah hembusan angin yang menelusup. Bulan telah hilang, digantikan awan-awan kelabu yang menutupi langit. Pertanda hujan akan segera tiba.

"Selir Mei, sebaiknya anda kembali ke paviliun. Udara malam semakin dingin dan sebentar lagi hujan akan turun."

"Terima kasih atas pengertianmu Jenderal Li."

"Tidak perlu berterima kasih, itu sudah kewajiban hamba melindungi anggota istana."

Aya tersenyum sedih. Ia ingat sekali tentang kisah sosok ini. Sorot matanya menyendu.

"Boleh aku memberi perintah?"

Jenderal Li nampak ingin terkekeh. Namun ditahannya, sedari tadi perkataan Selir Mei seakan mengelitiknya dan wanita itu bertingkah tidak biasa seperti dulu mereka bertemu. Dia dulu pendiam bahkan mereka tidak pernah terlibat pembicaraan. Jadi, ia tidak tau Selir Mei akan selucu ini jika berbicara.

"Anda bebas memerintahkan hamba."

"Kalau begitu," Aya menatap pemuda yang tengah berlutut didepannya, "tetaplah hidup, Pangeran Li Qiang."

Sosok itu membeku. Bungkam. Terpaku, dirinya akan mendengar panggilan itu akan didengarnya kembali. Kata-kata lenyap dari bibirnya. Ia hanya bisa melihat kepergian Aya tanpa kata.

Dari kejauhan, sosok berjubah emas memperhatikan interaksi dua pasang insan tersebut dari tadi. Matanya kelam bagai malam. Rupanya dingin tak terbaca. Gestur tubuhnya tegap dan siaga. Tidak bergerak dari tempatnya berdiri.

"Yang Mulia, Selir Mei telah pergi. Apakah anda akan melanjutkan menemui Jenderal Li untuk membahas permasalahan di daerah Guangzhi?"

Kaisar Zhang tak menjawab. Waktu bagai membeku karena aura pekat yang ia keluarkan. Kasim Han dan Dayang-dayang bertanya-tanya dalam benak mereka. Sementara detak jantung mereka bergetar liar. Suasana hening yang menyesakkan. Hal yang berkaitan dengan Kaisar Zhang memang selalu terlihat menakutkan.

"Tidak, " jawab Kaisar datar, ia berbalik menengok dari bahunya dengan pandangan tajam, "perintahkan Jenderal Li untuk ke peraduanku besok siang."

Setelah itu, ia melangkah lebar meninggalkan tempat pelatihan prajurit, dimana Jenderal Li berada.

✍✍✍
24 November 2018

Wahhh, gilaaaa😆. Baru sekarang aku nulis beberapa part udah dapet 1 k lebih😄. Makasih semuaaaa😍😍😘

Btw, ada tokoh baru😎

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang