Part XL

38.8K 3.8K 70
                                    

- Kedua hati yang sakit akan memiliki cara untuk saling menyembuhkan.

✍✍✍

Pagi hari tiba, setelah semalaman menangis. Aya dengan pakaian latihannya. Mengambil pedang dan berlatih seorang diri di arena yang sepi karena para prajurit sedang tidak bertugas. Ia menumpahkan semua amarah, kekesalan, ketidakberdayaannya pada latihan itu. Onggokan kayu yang terpasang menjadi pelampiasannya. Berkali-kali ia menyabetkan bilah tajam pedangnya ke badan kayu. Satu kali, dua kali, dan tak terhitung. Keringat mengucur, tangannya terasa kebas. Tapi, ia tidak berhenti. Tanpa memberi jeda dirinya untuk mengistirahatkan lelah. Aya tak jua menghentikan ayunan pedangnya. Rasa perih di telapak tangannya, terabaikan oleh kilat tajam di mata Aya. Ada segumpal sesak yang belum hilang. Kala ingatan waktu kemarin melintasi benaknya. Ia melempar pedang.

Rahangnya mengencang. Wajahnya mengeras. Tangannya mengepal dan meninju badan kayu yang tersayat-sayat oleh pedangnya. Kulit tangannya mengelupas. Namun, ia juga tak berhenti. Ia mengulanginya kembali tindakannya barusan. Memukul kayu itu menggunakan tangannya. Tanpa pelindung atau takut tangannya akan cidera. Aya mengabaikan semua. Bahkan darah yang mulai mengucur dari balik kedua tangannya tak juga membuatnya jera. Bercak-bercak darah mengotori badan kayu. Matahari kian meninggi. Menyengat kulit.

Lengan Aya sudah berlumur keringat. Tidak ada tanda-tanda lelah. Matanya masih memancarkan kemarahan. Yang apabila tidak dilampiaskan sekarang maka mungkin dirinya akan membunuh orang atau menjadikan orang itu objek kekesalannya.

Di seberang tempat halaman latihan, Kaisar Zhang berdiri mengamati latihan gila atau lebih cocok disebut kegiatan menyiksa diri sendiri. Ia menatap Aya dari kejauhan. Tidak mendekat tetapi tidak juga pergi. Hanya diam di tempat. Takut wanita itu bertindak nekat dengan menyiksa dirinya lebih parah.

"Yang Mulia, tidakkah kita harus menghentikannya Selir Mei? Karena jika tidak tangannya akan cidera."

"Tidak, dia sedang memerlukan waktu untuk sendiri. Kalaupun aku menyuruhnya berhenti, ia tidak akan mendengarkan."

Kasim Han melirik perban yang membalut tangan Kaisar Zhang.

Hari berlangsung cepat, matahari sudah tenggelam ke peraduannya. Langit malam membentang. Gelap disana sini. Menyisahkan Aya yang memukul kayu tanpa lelah. Kemudian ia terduduk. Tangannya terkulai di kedua sisi tubuhnya. Titik-titik air hujan berjatuhan ke bumi. Sekejab kemudian menderas. Tubuhnya basah kuyup, sangat lelah, dan darah yang terbasuh air hujan menggenang di tempat duduknya. Ia menatap kosong. Namun, beban di pikirannya tidaklah seberat tadi. Hatinya terasa hampa.

Dari pelupuk matanya keluar cairan bening. Bercampur tetesan hujan yang menerpa wajahnya. Isakan dri bibirnya terdengar rendah. Kepalanya menunduk dan terdengar tangisannya yang tersamar derai hujan.

Tiba-tiba, ia tidak lagi merasakan tetesan hujan yang menghempas tubuhnya. Aya mendongak. Menatap Kaisar Zhang yang melepas jubahnya lalu menyampirkannya ke kepala Aya. Menutupi tubuh wanita itu dari hantaman deraian hujan yang menghujam. Sementara pakaiannya sendiri basah. Mereka saling bertatapan. Tanpa kata dan suara. Air mata Aya masih setia mengalir bersama isakan kecilnya.

Kaisar Zhang merengkuh tubuh Aya. Membawa kepala wanita itu mendekati dadanya. Dan mengusap rambutnya berirama. Tangis Aya semakin menderas seiring awan yang masih setia mengeluarkan tetesan airnya. Ia menelusupkan kepalanya ke dada Kaisar Zhang. Tangannya berpegangan pada atasan baju pria itu yang basah.

Hanya kebisuan. Dan sepasang tangan yang merengkuhnya saat ia rapuh. Ditemani diam dan seseorang yang datang saat keadaanya terpuruk.

Benar, tidak perlu kata, ucapan manis, ataupun motivasi penyemangat. Diammu dan menamaniku dalam segala keadaan adalah penyembuh hati yang sempurna. Sebab kesetiaanmu menghancurkan segala ego yang bersarang di hati. Dan harta tak ternilai yang tidak bisa diukur ataupun dicari di setiap manusia lainnya.

✍✍✍

Waktu memang hal paling kejam. Disaat dirimu sedang berada di titik terbawah. Waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tidak bisa diputar ulang atau di majukan. Tetap konsisten berdetik sekalipun kau memohon untuk memberikan pengertian padamu.

Embun menetes di surai dedaunan. Aya melangkah diantara rerumputan yang menghijau. Beberapa kuda nampak mencari makan. Ia mendongak ke atas mendengar kicauan burung yang memberihkan bulunya di dahan pohon. Langit biru membentang seluas mata memandnag. Maahari bersinar cerah pagi ini. Aya menuju kolam di tepian tembok. Tempat dulu ia menghabiskan waktu bersama Jenderal Li. Mengambil tempat duduk, dan menjuntaikan kaki ke arah kolam. Ia memandang bayang matahari di dalam riak air yang tenang.

"Selir Mei." Sebuah seruan membuat kepalanya menoleh.

Jenderal Li memasang senyum. Aya membalas dengan senyum tipis.

"Kenapa pagi-pagi kemari?"

"Tidak ada." Aya menggeleng dan mengangkat bahu.

Jenderal Li mengangguk. Lalu hening di sekeliling mereka. Namun, ia teringat suatu hal. Ia mengeluarkan lipatan kertas dari balik bajunya. Dan memberikan kepada Aya.

"Apa ini?" Dahi Aya mengernyit heran.

"Baca saja."

"Ini bukan pernyataan cinta kan?" Canda Aya.

Jenderal Li sontak tersenyum kikuk, "Bukan."

Aya membuka lipatan dan mulai membaca. Itu sebuah syair puisi.

Aku melihat banyak senyuman.
Ada yang berusaha tampak bahagia, senyum yang patah, keegoisan, dan kesepian.
Semua memakai topeng.
Banyak lapisan.

Berusaha menyembunyikan sisi yang lemah.
Berharap ada tangan untuk mengapai.
Namun, uluran tangan yang ditunggu malah mengulurkan tangan pada orang lain.

Sekali lagi, aku melihat seseorang sedang bercermin.
Dimana dia berusaha melihat dirinya tampak lebih baik.
Tapi, ketika cermin itu hilang...
Aku melihat setetes air mata
.

"Ini untukku?"

Jenderal Li mengangguk.

"Memangnya sejelas itu ya?"

"Tidak, cuman ingin menghibur dirimu."

"Puisimu nampak membuatku lebih terpuruk."

"Aku ..."

"Tidak apa-apa, aku hanya bercanda." Aya mengakhirinya dengan tawa kala Jenderal Li meringiskan wajahnya namun tidak cocok dengan kontur wajahnya. Sehingga nampak lucu di matanya.

✍✍✍
5 juni 2019
Selamat hari raya bagi yang menjalankan😉😊

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang