Part XXXIX

38.2K 4.1K 166
                                    

Aku nggak marah kok, yang komen digoogleplay. Itu artinya kalian suka dengan cerita ini  dan melindungi novel ini dari para plagiat😊. Hanya salah sasaran saja.

(Mohon dihapus ya komennya😉)

See you 😘

✍✍✍

Aya menggedor pintu paviliun Selir Ming.

"Buka pintunya! Aku tau kau didalam! Keluar!" Seru Aya keras dari luar.

"Keluar kau pengecut! Jika kau benci padaku maka urusanmu dengan diriku! Kenapa kau membunuh dayangku!" Ia mengutak-atik gerendel pintu namun tidak terbuka. Kesal, dipukulnya pintu itu dengan kuat.

"Apa kau tidak punya hati, hah?!"

"Keluar Selir Ming!!!" Jerit Aya kencang.

Kaisar Zhang datang dari jalan setapak.

"Hentikan, Mei." Perintahnya. Tetapi, seakan sudah bebal dan tidak memperdulikan sekitar. Aya masih mendorong pintu itu agar terbuka dan sesekali menendangnya.

"Keluar kau sialan!"

"Mei!" Bentak Kaisar Zhang yang berhasil mendapat lirikan tajam Aya. Namun, sedetik kemudian ia kembali berkutat dengan aktivitas awalnya. Memukul daun pintu Selir Ming dengan kepalan tangannya.

"Sekarang kau mengadu?! Jika kau berani hadapi aku di luar ini. Jangan bersembunyi seperti pengecut!"

Kaisar Zhang mendekat, ia mencekal tangan Aya yang memerah karena terus memukul daun pintu.
"Aku bilang hentikan." Nada suara Kaisar Zhang mengalun rendah.

"Kau juga sama sepertinya! Kalian semua monster! Aku benci tempat ini! Pembunuh! Tidak punya hati! Penyiksa!" Dada Aya turun naik setelah mengucapkan sumpah serapah itu. Matanya nyalang menatap. Dibaluri kebencian dan sakit hati.

Kaisar Zhang diam. Tidak membalas. Pandangannya beralih pada Kasim Han yang berdiri cemas di muka tangga. "Kasim Han, perintahkan para dayang untuk membawa Selir Mei ke Paviliunnya. Ia sedang mengalami guncangan. Sebaiknya ia beristirahat di tempatnya."

"Dan membiarkan kalian hidup tenang?! Sementara ada yang terkubur dalam tanah! Tidak akan pernah. Lepaskan aku!" Aya memberontak. Menghentakkan tangannya agar terlepas dari cekalan tangan Kaisar Zhang. Namun, cekalan itu sungguh kuat. Pria itu seolah menyalurkan seluruh energinya untuk mencengkeram lengannya agar dirinya tidak bertindak diluar batas atau melakukan tindakan merugikan.

"Dengarkan aku, Mei. Kau berteriak-teriak seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah. Apa dayangmu akan hidup lagi, tentu tidak bukan? Lebih baik kau kembali ke paviliunmu."

"Lalu kenapa kau menghukum orang yang tidak bersalah, Hah?! Aku hanya meminta waktu untuk membuktikan siapa orangnya! Tapi kenapa kalian semua seperti ingin akulah orang yang bersalah dan pelaku sebenarnya kalian lindungi!" Air mata menetes mengaliri pipi Aya. Suaranya terdengar lirih.

"Jika ingin melihatku mati! Bunuh saja aku sekarang cepat. Agar kalian tidak mencari nyawa orang lain lagi yang tidak bersalah hanya untuk menjatuhkanku! Cepat bunuh aku!" Ujarnya lagi. Teriakan putus asa Aya benar-benar meremas jantung Kaisar Zhang. Ia mengendurkan cekalannya. Dan tangan Aya terlepas.

"Kau benar-benar sedang kacau." Kaisar Zhang tidak berani memandang wajah didepannya yang begitu menyedihkan. Membuat dadanya sangat sesak dan perih yang menjalar di hatinya. Ia sungguh tak kuasa. Hatinya remuk melihat kondisi Aya yang seperti ini.

"Bunuh aku cepat! Agar kalian semua puas!" Aya meracau kembali. Dengan deraian tangisan dan isak yang menghujam ulu hati Kaisar Zhang.

Sebuah gerakan spontan tanpa sempat dihalau Kaisar Zhang. Ia melihat Aya mengambil pedang dari seorang pengawal terdekat. Lalu menekannya ke lehernya sendiri. Terlihat darah mengucur dari ujung pedang dan membasahi bilah tajam. Kaisar Zhang bergerak cepat menahan pedang itu agar tidak melukai leher Aya lagi dengan menggenggam bilah tajam itu dengan tangannya sendiri. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Menarik dan melempar pedang itu ke tanah. Lalu mengangkat tubuh Aya seperti karung beras. Pergi ke paviliun Selir Mei.

Sementara didalam sana, Selir Ming sedang duduk di depan mejanya. Tangannya gemetar dengan pandangan nanar.

Meletakkam tubuh Aya di ranjang. Menahan pergerakan Aya dengan kedua tangannya yang mengukung. Aya memalingkan wajah. Ia bertatapan dengan luka  pada tangan kaisar Zhang. Ia menundukan pandangan. Air mata mengalir menetes menitik di kasur tempat tidurnya. Satu demi satu berjatuhan. Ia benci saat tidak berdaya seperti ini.

"Aku benci tempat ini." Ucap Aya parau.

"Apakah seperti ini negeri yang kau bangun? Ketidakadilan dimana-mana, kekuasaan merajalela, dan orang biasa tidak berhak bebas harus dikukung dalam perbudakan. Wanita diperjual belikan layaknya barang. Kesehatan bagaikan barang mahal yang tidak boleh dimiliki oleh orang miskin. Dan bangsawan serta anggota penting istana menggunakan fasilitas negeri untuk mereka sendiri yang seharusnya diberikan pada orang yang berhak. Ini negeri yang kau bangun? Yang memiliki lumbung pangan melimpah namun rakyatnya jauh dari kata sejahtera. Begini, negeri yang dibanggakan itu?"

Aya menatap lurus mata Kaisar Zhang lalu menekan suaranya, "Jawab aku!"

" Apakah orang-orang seperti kalian dulunya tidak permah merasakan apa yang kami rasakan? Jika pernah, kenapa kalian tidak pernah memberikan setitik simpati saja pada kami? Apa begitu susahnya memberi pertolongan orang yang hampir sekarat di depan matamu? Apakah begitu susahnya membantu orang lain yang hak hidupnya harus direnggut dengan kejam dan mati tanpa keadalian? Bagaimana jika semua itu terjadi pada orang yang kau sayangi, ibumu, ayahmu, adikmu? Apakah kau akan berlaku sama? Jawab aku!"

"Apakah begitu sulit mencari ketulusan itu sekarang? Apa telah hilang karena keserakahan?"

"Kenapa takdir itu kejam?" Aya menangis setelahnya. Matanya terus dibanjiri air mata. Sesekali terdengar sesenggukan dari bibirnya. Kaisar Zhang membiarkan Aya mengungkapkan segala isi hatinya. Menelan kata-kata yang terlontar dari bibir Aya. Dan menyaksikan betapa rapuhnya wanita itu saat ini. Kerlingan jahil, tatapan keras kepala, dan bibir yang selalu berucap sinis itu hilang tertelan isak tangis yang memecah jiwa Kaisar Zhang.

Kaisar Zhang mengusap jejak air mata di pipi Aya dengan tangannya yang tidak terluka, "Seperti katamu dulu, hidup adalah pilihan. Oleh karena itu, begitu banyak sifat manusia yang beragam. Dengan segala tujuan mereka hidup untuk memenuhi keinginan mereka. Dengan segala cara baik atau buruk. Tergantung manusia itu sendiri. Dan selama itu masih ada di benak tiap orang maka keadilan dan kejahatan akan seiring sejalan.

"Hidup adalah pilihan. Ada yang baik dan jahat. Sedangkan tanganku hanya dua untuk menghentikan kejahatan yang terus menerus terjadi. Selagi ada kemiskinan maka selagi itu pula ada kejahatan. Aku hanya manusia walau seorang Kaisar kemampuanku terbatas. Bukan dewa yang bisa segalanya. Aku seorang Kaisar, Mei. Walau aku memiliki segala hal yang tidak dimiliki orang lain. Namun, ada batasan yang tak sanggup ku rangkul dalam tanganku. Penglihatanku pun hanya terbatas pada sekelilingku. Aku tidak bisa mengetahui isi hati seseorang ataupun membaca jalan pikirannya. Jadi, tidak ada yang ku percaya di dunia ini selain diriku sendiri. Kau paham apa maksudku? Selagi tidak ada rasa percaya satu sama lain maka hubungan hanyalah didasari untung sama untung. Begitupun yang kau lihat sekarang."

"Jadi, kau hanya akan membantu jika hal itu menguntungkan bagimu?"

"Sebagian itu benar."

"Jika yang akan mati kemarin adalah aku. Apa kau akan membiarkan hal itu terjadi?" Suara Aya serak dan parau. Iris matanya yang berkaca-kaca terlihat indah dalam pantulan sinar lentera. Pipinya masih berwarna merah dan lembab.

Kaisar Zhang mengusap sisi kepala Aya dengan lembut dan perlahan sembari bibirnya berbisik, "Hal terakhir yang tidak ku inginkan terjadi, melihatmu tersakiti."

✍✍✍

Oh, iya. Mau promosi cerita. Judulnya, Become A Princess. Baca aja sinopsisnya dan pantengin isinya😁

Siapa tau suka😉

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang