Part I

83.5K 5.2K 67
                                    

Pagi ini, entah sial atau apa. Ia terlambat bangun. Dengan serampangan ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Mandi kilat dan langsung memakai pakaian. Seraya mengenakan pakaian Aya terus berdecak dan mengumpat ketika salah mengancing baju. Wajahnya sungguh kesal luar biasa, entah ditujukan untuk dirinya atau bukan. Matanya sesekali melirik jam kemudian menggerutu lagi. Melompati dua anak tangga terus sampai ke ujung tangga.

“Aya, ibu sudah siapkan sarapan untukmu.” Seru ibunya dari arah dapur. Didalam rumah hanya ada ibu dan dirinya, berarti Kinan sudah pergi sekolah.

“Nggak usah bu, ini udah telat.” Jawab Aya seraya mencari sepatunya di rak sepatu. Membuat simpul lalu selesai. Ia mengambil tas dan menyampirkannya ke punggung.

“Ibu aku pergi dulu.” Teriaknya dan menutup pintu.

“ya, hati-hati.” Ibu Aya menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya.

✍✍✍

“Woi, bos sudah datang belum?” Aya melongok-an kepalanya ke arah pintu, matanya mencari sosok tubuh tambun dengan kepala plontos. Namun yang dicarinya tak ada di ruang itu. Ia melirik Riki yang belum menjawab pertanyaannya. Pria itu masih dengan kegiatannya mengepel lantai. Kesal diabaikan, Aya menendang ember yang berisi air bekas pel yang terletak diantara mereka berdua. Tidak kuat cuma untuk menggetarkan ember nya saja, namun na'asnya ember itu mencipratkan sebagian airnya ke lantai dan mengenai sepatu Riki hingga basah dan sedikit cipratan ke wajah Riki.

Pria itu bersumpah serapah sambil mengusap wajahnya, ia melepas earphone ditelinganya dan memandang Aya jengkel.

“Udah bosan hidup ya?!” Teriak Riki kesal.

“Nggak usah teriak-teriak ya, aku nggak budek. Lagian itu salah kamu sendiri.” Aya bersedekap pantang meminta maaf. Tidak ada setitik penyesalan pun dimatanya.

“Salahku? Bagaimana itu menjadi salahku sedangkan kau datang tiba-tiba dan langsung menendang ember itu. Kau membuatku harus mengulangi pekerjaan ini dari awal lagi.” Riki menggerutu lalu menatap sepatunya yang basah, ia langsung mendesah frustasi.

“Kalau saja kau bukan temanku Aya, sudah ku telan kau bulat-bulat.”

Aya mengendikkan bahu santai, “ Aku sedang bertanya padamu dan kau tidak menjawab. Jadi aku menyadarkan mu.”

“Ya, tapi tidak seperti ini juga! Ah, sudahlah! Berdebat denganmu tidak ada habisnya.”

“Ada bos?” Ulang Aya ketika Riki melepas sepatunya.

“Belum datang .” walau memberengut kesal Riki tetap menjawab.

“oh.” Aya melenggang santai menyusuri ruangan meninggalkan Riki yang memeras kain pelnya. Riki hendak meneruskan pekerjaannya namun matanya terhenti melihat jejak-jejak sepatu beserta butiran tanah mengotori lantai yang sudah dibersihkan nya. Matanya mengikuti jejak langkah itu dan berhenti pada sosok Aya yang berjalan tanpa dosa dan hilang dibalik pintu bertuliskan “Khusus Karyawan”. Riki menggeram dan meneriaki namanya.
“Ayaaa!”

✍✍✍

Rambut Aya yang diikat menjadi satu bergerak seiring langkah kakinya. Beberapa helai yang terlepas nampak melekat di kulit lehernya yang bermandikan peluh. Tangannya terangkat mengusap keringat, hari ini pengunjung sangat ramai. Apalagi siang tadi, ia tidak bisa menggambarkan bagaimana kerepotannya ia, Riki, Siska, dan Abel. Abel menjaga kasir, Siska dan dirinya sebagai pramusaji sedangkan Riki sendiri adalah tukang masak bersama istri dan bosnya di dapur. Tadi Abel pergi ke toilet dan bosnya meminta tolong padanya untuk menggantikan sementara di kasir. Beruntung pengunjung saat ini sedikit. Entah ada angin apa, firasatnya mengatakan hal buruk.

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang