Part XLIV

39.1K 3.7K 166
                                    

Aya mengerjabkan matanya. Perutnya seperti ditimpa sesuatu yang berat. Ia menoleh, sebuah tangan memeluk tubuhnya dari belakang serta sebelah kaki yang membelit kakinya yang lain. Milik siapa ini? Ia melirik ke belakang. Wajah tidur Kaisar Zhang tepat berada di sebelahnya.

Ia memandang sekitar. Mereka masih di dalam penginapan. Menguap sebentar, ia memindahkan tangan Kaisar Zhang ke lantai. Lalu membuka selimut. Wajah Aya berganti pucat. Ia menutup kembali tubuhnya. Menoleh ke lantai dimana pakaiannya berserakan. Ia bergegas duduk dan mengambil pakaiannya namun terhenti kala merasakan sengatan perih di inti tubuhnya. Sampai-sampai ia harus menggigit bibir. Sebuah pikiran tercetus didalam kepalanya.

Jangan bilang mereka ...

Aya melirik keadaan tubuh Kaisar Zhang yang sama seperti dirinya. Telanjang. Ia terduduk membeku dengan kejadian semalam yang terus bermunculan dalam benaknya.

"Engh ..." gumam Kaisar Zhang kala terusik dari tidur lelapnya. Matanya perlahan terbuka.

"Kau sudah bangun?" Suara serak itu tak juga menyingkirkan rona pucat di wajah Aya. Atau menoleh sedikit. Aya tetap dalam kebungkamannya.

Kaisar Zhang bangkit bangun, ia mengurai halai rambut kusut Aya yang segera ditepis oleh pemiliknya. Terkejut. Kaisar Zhang menatap Aya penuh tanya.

"Kenapa?"

Aya tidak menyahut. Ia memilih tenggelam dalam pikirannya.

Menyadari kekalutan yang membayangi rupa Aya. Kaisar Zhang merengkuh wajah Aya. Memaksa mata itu untuk menatapnya.

"Apa aku menyakitimu?"

"Jangan diam, Aya. Kau tambah membuatku takut." Tambahnya lagi.

Bahkan orang ini juga tahu namanya. Sebenarnya, sebarapa banyak yang ia ucapkan semalam?

"Kau tidak suka dengan semua ini?" Kaisar Zhang masih berusaha mencercanya.

Aya memejamkan matanya. Menghela napas frustasi.

"Apa yang harus ku tidak suka? Mau menolak pun sudah terjadi, bukan? Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri." Aya mencengkeram sisi kepalanya putus asa. Muram menggantung di wajahnya.

"Hei, tatap aku." Tangan Kaisar Zhang terangkat memegang dagu Aya, mengarahkan ke matanya, "Jangan berkata seperti itu. Kau tetap berharga, Aya. Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tidak berharga, bahkan setelah ia melakukan itu ataupun merusak dirinya. Hanya pikiran dan dasar pendapat masyarakat yang menbuatmu terpengaruh untuk berpikir demikian dan menganggap omongan orang adalah benar dan hukum untuk membedakan wanita baik dan buruk. Padahal, semua wanita itu berharga dari sejak mereka lahir sampai mati. Tidak ada sampah disini. Hukum boleh mengatur kegiatan manusia tapi ia tidak berhak mengatur kepribadian seseorang. Hak bebas, hidup, dan dihargai itu milik setiap orang. Jika mereka berpikir, dirinya tidak berharga itu hanya asumsi yang membuatnya terpuruk sendiri. Cintai dirimu terlebih dulu sebelum mencintai orang lain. Dan hargai hidupmu sebelum kau menghargai orang lain. Kau memahami apa yang ku katakan?" Kaisar Zhang mengusap lengan Aya penuh kelembutan. Matanya memancarkan binar hangat kasih sayang. Diselimuti nada suara pengertian.

Bahu Aya melemas. Ia menurunkan tangannya. Dan menunduk dengan pikiran kusut, "Tapi kita sudah melakukan itu?"

"Lantas, apa salahnya?"

"Tentu saja salah!" Tekan Aya dalam nada suaranya.

"Tolong jelaskan dimana bagian masalahnya?"

"Aku ... aku ..." Aya mengusap wajahnya kasar. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Bukankah dia seorang Selir? Dan itu hal wajar bukan? Tapi, inikan dirinya! Orang asing yang terperangkap dalam tubuh orang lain dan mereka melakukan itu. Jika semalam orang ini tau bahwa ia bukan Mei lalu kenapa dia memaksa melakukan itu? Aya terdiam. Menghela napas pelan. Dia tidak memaksa. Ia sendirilah yang tidak menolak.

"Jangan disimpan sendiri, Aya. Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu."

"Kalau kau tau aku ini orang lain, kenapa masih juga melakukannya?!"

"Aku tidak pernah menganggapmu orang asing." Sanggah Kaisar Zhang.

"Lalu, Selirmu?!" Aya mendelik marah.

Kaisar Zhang belum menjawab. Ia justru memandang Aya.

"Kau tau, sejak pertama kali melihatmu. Kehadiranmu yang membuat masalah, perdebatan sengit, dan rasa khawatir yang sering kali hadir saat kau bersedih atau tidak dalam jangkauanku. Semua itu membuatku terbiasa. Terbiasa yang menjadi kesenangan lalu candu. Aku tau, ini tidak akan mudah. Masa laluku, masa lalu Mei, dan kebencianmu terhadapku menjadikannya rumit dan sulit ku gapai. Tapi, aku tidak bisa memutar waktu untuk memperbaiki kesalahan atau sekedar minta maaf. Semua sudah terjadi. Dan aku tau kesalahanku mungkin tidak termaafkan. Aku tidak berharap banyak, hanya ingin memperbaiki keadaan yang ada dan memulai semua dari bawah. Namun, ijinkan aku untuk terus didekatmu agar hatiku tidak risau akan keadaanmu. Beri aku satu kesempatan lagi, bisakah?" Kaisar Zhang menggenggam kedua tangan Aya dengan erat. Membawanya ke atas pangkuan.

Aya menatap pancaran mata yang sungguh-sungguh itu. Hatinya dilema. Tapi, ia tidak bisa menampik ada sebersit rasa didada untuk orang dihadapannya. Mendongak menatap lurus mata itu.

"Hatiku masih membencimu atas apa yang kau lakukan pada Mei."

"Aku tau."

"Belum lagi, ini tubuhnya. Aku tidak bisa bersikap semena-mena, aku hanya seorang pendatang yang akan pergi kapan saja."

Kalimat terkahir itu membuat Kaisar Zhang mengangkat wajah, menatap lekat mata coklat karamel didepannya. Sendu dan resah tak bisa disembunyikan dari kelamnya iris mata miliknya.

"Berikan aku waktu untuk memulai semuanya dari awal."

"Untuk apa?" Tanya Aya pesimis.

"Rasa ini terlalu menyakitkan untuk ku sembunyikan seorang diri. Kadang aku cemburu tanpa alasan, dan kadang marah tidak jelas. Terlalu egois untuk mengharapkan hatimu membalasku dan balasan maaf dari Mei. Tapi, aku bisa apa? Melihatmu sedih dan tidak bisa ku jangkau, membuatku tersiksa dan melihatmu tersenyum bersama pria lain, aku meradang. Aku manusia penuh penyesalan dan tidak pantas dimaafkan. Namun, disisi hatiku yang lain aku menginginkanmu.

"Kehadiranmu membawa warna baru, dan perkataanmu membuka pikiranku yang selama ini terkunci akibat dendam dan ambisi. Mungkin jika diibaratkan usia, aku masih dalam tahap pencarian diri. Diriku dan hatiku telah remuk tiga puluh tahun yang lalu. Begitu juga, jati diriku yang hilang. Semuanya direnggut hanya menyisahkan tatapan kekosongan, wajah yang kaku, dan hati membeku. Aku tidak bisa memberi janji, tetapi aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik."

Aya hanya bisa bungkam akan ketulusan dan raut permohonan yang tergambar jelas di wajah Kaisar Zhang. Setelah semua yang terjadi kemarin dan hari ini, benaknya terlalu rumit untuk diajak berpikir. Ia memandang pria didepannya dalam keheningan yang meraja. Melalui sorot mata yang berbicara banyak hal tidak bisa diungkap dengan kata-kata.

"Aku akan mengangkatmu sebagai Selir Tingkat pertama setara dengan Selir Ming. Ketika pulang nanti."

Aya terkejut. Belum sempat menyanggah kata Kaisar Zhang, pria itu sudah menambahkan ucapan yang membuat matanya melebar horor.

"Kau mau mengubah namamu juga?"

"Jangan gila! Mereka akan memanggil Biksu dan memasungku karena berpikir aku adalah hantu yang terperangkap dalam tubuh orang lain."

"Benar juga." Kaisar Zhang mengangguk membenarkan.

"Bagaimana masalahnya, sudah selesai? Apa ada yang membuat hatimu menganjal? Kau bisa tanyakan banyak hal." Lanjutnya.

Aya menggeleng. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. Benaknya masih linglung. Kaisar Zhang merentangkan tangan, memeluk tubuh Aya. Dagunya bertumpu pada kepala Aya. Dan Aya membiarkannya, karena saat ini ia butuh sandaran untuk menopang jiwanya yang rapuh.

"Aku tau ke depannya akan berat. Tetapi, percayalah satu hal. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi. Karena namamu telah menancap kuat dalam dada dan memenuhi setiap rongganya hingga kadang-kadang membuatku sesak sekaligus merindu secara bersamaan."

✍✍✍
28 Juni 2019

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang