Part XIV

52K 4.8K 201
                                    

Langit telah menghitam. Di terangi sang rembulan dan kerlip bintang. Di sebuah tempat, dimana bercahayakan lentera, Aya mulai belajar di paviliunnya. Setelah membersihkan diri dan hanya memakai pakaian dalam yaitu gaun putih dengan tali pengikat di samping gaunnya. Ditemani Dayang Yang yang tengah menyisir rambut panjangnya. Aya duduk di tempat tidur, didepannya ada meja kaki rendah. Buku terbuka dihadapannya dan tumpukan buku yang lain dipinggir meja. Sebelah tangannya memegang dimsum dan tak henti mengunyah. Dahinya berlipat-lipat melihat rangkaian tulisan di buku itu. Banyak sekali tulisan disana, jangankan membaca sekali lihat saja kepalanya sudah terserang pusing, dan bermenit-menit yang dihabiskannya untuk membaca satu halaman saja tak satupun yang masuk ke kepala.

Aya membolak-balik halaman buku hingga ke bagian akhir, melihat deretan halaman yang begitu banyak. Dan melirik tumpukan buku di samping meja yang belum ia sentuh, ia menjambak rambutnya sendiri. Mengerang frustasi. Menjejalkan dimsumnya ke mulut sampai kedua pipinya kembung. Kepalanya terkulai ke atas meja.

Kenapa dia tidak berpikir dulu sebelum membuat taruhan itu?! Tau begini lebih baik dihukum karena hukumannya pasti sudah ia tau. Paling, di kurung di paviliun selama sebulan. Jika aku kalah, dan dia minta yang aneh-aneh bagaimana? Kenapa kau tidak berpikiran sampai kesana, Aya?!

Aya menepuk kepalanya dengan kesal.

"Nona, sebaiknya anda makan dulu."

Aya tersentak kaget, mengangkat kepala. Terlalu fokus merutuki dirinya ia lupa akan keberadaan Dayang Yang. Yang sebelumnya tengah menyisir rambutnya namun sekarang telah ada di hadapannya membawa baki makanan.

"Maaf membuat nona kaget." Dayang Yang masih memegang baki makanan.

"Taruh saja disana, aku belum lapar." Melihat begitu banyak buku yang harus ia hapal, nafsu makannya berkurang. Belum lagi dengan waktu yang terus berputar. Menghapal seluruh buku dalam satu malam terdengar sangat mustahil apalagi itu dilakukan oleh Aya. Aya saja tidak yakin. Entah bagaimana ia harus menghadapi hari esok.

Aya terdiam ketika Dayang Yang menutup bukunya. Wanita tua itu tersenyum lembut, menaruh baki makanan di atas meja.

"Nona harus makan. Hamba tidak ingin nona sakit. Hamba mewakili Dayang lain sangat berterima kasih atas kemurahan hati nona pada kami yang rendah ini. Nona tidak perlu menyiksa diri, jika nanti esok nona tidak bisa menjawabnya. Kami Para Dayang nona akan meminta Yang Mulia untuk tidak menghukum anda sebagai gantinya biarlah kami yang menanggungnya. Karena memang hukuman itu sejatinya adalah kelalaian kami dalam menjaga nona."

Aya termenung, kemudian menatap mata Dayang Yang yang memancarkan sinar ketulusan. Ia sudah menganggap sebagai ibunya sendiri dan seperti ada ikatan batin yang membuat dirinya nyaman dan tidak merasa asing di tempat ini. Menjaganya selalu dan merawatnya. Sebagai teman bagi dirinya bertanya, dan ibu yang selalu mengomelinya.

"Terima kasih."

Dayang Yang mengangguk, memundurkan tubuh dan duduk di sudut ruangan.

Menghargai usaha Dayang Yang, Aya mengambil sendok dan memakan makanannya dalam diam. Sementara pikirannya disibukkan dengan rencana untuk besok. Tentu ia tidak ingin, dayangnya dihukum atas kelakuannya dan membiarkan dirinya jadi sasaran empuk Kaisar Zhang.

Sebuah ide cemerlang menghampiri benaknya. Matanya berbinar-binar. Ini pasti akan berhasil, pikirnya. Meletakkan sendok. Ia tersenyum sumringah.

"Aku sudah selesai."

Dayang Yang menatap bahagia melihat keceriaan Selir Mei, "Apakah nona sudah belajarnya?"

Aya mengangguk semangat. Dayang Yang mengangkat meja itu ke pinggir ruangan. Membenahi tempat tidur Aya agar nyaman ditiduri.

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang