Dayang Yang telah sampai disisinya. Ia terkejut mendapati rombongan Kaisar, Ibu Suri dan Selir Ming memenuhi jalan didepan mereka. Suasana canggung dan aura tidak mengenakkan bercampur diudara. Ia melirik Aya yang masih duduk di punggung kuda. Duduk anggun dengan punggung tegak, tak tergoyahkan diantara pasang mata yang menatap merendahkan dirinya. Dayang Yang menciut takut ketika Ibu Suri menyelidik tajam dirinya. Ia memberikan salam hormat dengan membungkukan badan kepada ketiga orang yang berpengaruh di kerajaan ini.
Aya bergeming, menelaah situasi. Akhirnya ia turun dari kuda. Seorang penjaga kuda istana yang dipanggil Dayang Yang tadi datang, membungkuk hormat kesekitar lalu menarik kuda menuju ke kandang.
"Jadi, kenapa kalian menghentikan jalanku. Ada masalah?" Tanya Aya dengan mimik polos.
"Kalian?" Ibu Suri menarik ujung bibirnya kesal, "kau benar-benar tidak punya sopan santun! Kau sebut Yang Mulia dan diriku dengan sebutan rendahan itu?! Dimana ajaran tata kramamu? Apakah orang tuamu tidak mengajarkannya?"
"Sayangnya orang tuaku tidak mengajarkan untuk bersopan santun pada penjilat, licik dan munafik." Jawab Aya tenang.
Emosi Ibu suri langsung tersulut, ia membentak, "Selir rendahan! Hukum dia Yang Mulia."
"Kenapa aku dihukum? Rasanya aku tidak menuduh siapapun disini. Jika merasa tersinggung berarti perkataanku benar bukan? Lalu apa salahku?"
"Wanita ini benar-benar cari mati!" Ibu Suri terlihat berang. Mukanya memerah karena marah. Menatap Aya sengit sedangkan yang ditatap seperti riak air di danau yang tenang.
Selir Ming tersenyum senang merasa Aya akan mendapatkan hukuman sebentar lagi. Melihat musuhnya dalam keadaan menderita adalah hal yang menyenangkan. Belum lagi, posisi Permaisuri yang masih kosong. Recananya setahap demi setahap membukanya ke jalan yang menjadi tujuannya. Sementara Dayang Yang menunduk cemas, ia tidak bisa berkutik. Menolongpun sulit. Posisinya yang hanya seorang Dayang tidak bisa membuatnya membantu Selir Mei. Terbayang, kejadian yang sudah-sudah dimana Selir Mei dihukum gara-gara kesalahan yang tidak dilakukan olehnya.
"Tenanglah, Ibu Suri." Suara Kaisar Zhang bergema di udara, membungkus sepi. Mengheningkan segalanya. Bercampur magis yang membuat kedua sosok yang tadi berseteru terdiam.
"Selir Mei, "panggil Kaisar Zhang, mata coklat madunya menatap tajam bak elang. "ikuti aku." Ia berlalu menuju halaman istana. Jubah sutra tebal dengan bordiran emas menghiasi punggung berlambang naga itu bergemerisik pelan kala tersapu bias angin. Melambai-lambai seakan menunjukkan pada dunia keindahan sosok pemiliknya. Punggung tegap dan bahu lebar serta surai panjang hitam legamnya melengkapi kegagahan Kaisar Zhang Wei diantara orang-orang membungkuk hormat ketika dirinya lewat.
"Kau akan menyesal, Selir Mei." Kata Ibu Suri seraya menyunggingkan senyum mengejeknya ke arah Aya.
"Sayangnya, aku tidak menyesal nenek tua. Dari tadi aku malah ingin tertawa melihat wajahmu sangat putih gara-gara bedak tebal yang menyembunyikan kulit keriputmu sangat kontras sekali dengan warna lehermu yang berbeda." Ucap Aya sambil berlalu. Tak lupa memberikan pandangan permusuhan pada Selir Ming.
Beberapa Dayang menahan tawa mereka dengan menutup mulut rapat-rapat. Dayang Yang bahkan tertawa kecil setelah menjauhi rombongan Ibu Suri.
"Bicara apa dia barusan?!" Pekik Ibu Suri di kejauhan.
✍✍✍
Sosok itu tengah duduk di kursi singgasanannya. Dikelilingi pengawal yang berjaga di sudut-sudut ruangan besar nan megah itu. Pintu mahoni tempat Aya masuk telah di tutup rapat. Meninggalkan dirinya dan Sang Kaisar dengan beberapa pengawal yang bungkam dengan tatapan lurus.
"Selir Mei, " Kaisar Zhang memecah sunyi, tangannya mengambil sebuah gulungan perkamen. Membukanya lalu membaca.
"Tahukah kau kesalahan apa yang kau perbuat?" Tanya Sang Kaisar seraya matanya fokus membaca.
"Aku tidak melakukan kesalahan apapun." Tantang Aya. Pandangannya tajam dan menusuk. Kakinya tidak goyah saat Kaisar meliriknya dari ujung mata. Walaupun ia berdiri dan Sang Kaisar duduk di kursi kebesarannya, Aya tidak merasa kecil ataupun takut. Ia juga tidak takut menghadapi sendirian pada sosok yang kapan saja menunjukkan taringnya. Tanpa Dayang Yang dan barisan dayangnya yang setia mengikuti.
Kaisar Zhang meletakkan perkamennya, sudut bibirnya membentuk garis tipis serupa senyuman namun itu lenyap ketika dia memandang Aya.
"Jadi, kau tidak merasa melakukan kesalahan? Baik sekecil apapun?" Tanya Sang Kaisar lagi.
"Tidak sama sekali." Suara Aya terdengar mantap.
"Taukah kau Selir Mei, hukuman dan peraturan negeri ini ada dalam tanganku. Yang memutuskan siapa yang bersalah atau tidak, ada padaku. Semua orang mematuhi perintahku, baik terpaksa atau sukarela. Melalui ucapanku semua kehidupan di negeri ini terikat pada keputusanku, baik hidup maupun harus mati." Tatapan Kaisar Zhang berganti menajam. Siapapun yang melihat tatapan itu nyalinya akan menciut takut namun tidak bagi Aya.
"Maaf mengecewakan, tapi aku tidak tertarik pada hukum di negeri ini. Jadi, bisa dipersingkat?"
"Perangaimu sangat berbeda sekali saat terkahir kita bertemu." Kaisar Zhang menampilkan senyum tipis misteriusnya.
"Benarkah? Tapi, aku memang sosok yang berbeda." Ucap Aya penuh makna.
Mata coklat madu itu menyelami tatapan Aya yang tanpa emosi. Menyelisik mencari maksud dari perkataan wanita dihadapannya. Berselimut datar membekukan. Pandangan mereka bertaut. Saling memaku seakan berlomba siapa yang paling kuat."Perlu kau tahu, Selir Mei. Dalam peraturan istana, Pemaisuri dan Selir adalah milik Kaisar. Kau adalah seorang Selir, bisa diartikan secara harfiah kau adalah milikku. Selayaknya Selir yang harus bertata krama sopan karena kau adalah kaum terpandang. Menjaga kehormatanku dimata orang-orang lainnya."
"Dan perlu kau tahu juga, Yang Mulia Kaisar Zhang Wei. Aku bukan milik siapapun. Aku milik diriku sendiri. Dan aku bukanlah kaum terpandang. Aku adalah manusia pada umumnya. Aku yang menentukan pilihan hidupku sendiri. Tidak ada yang bisa mengekang ataupun memaksa. Terakhir, kurasa kau tak perlu mencari kehormatan dariku karena Selir yang lain sudah melakukannya."
Kaisar Zhang menatap Aya dengan pandangan berbeda. Tertarik. Terbukti senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Matanya memandang lekat.
"Sifatmu benar-benar berbeda. Aku seperti berhadapan dengan orang lain. Tapi, hukum tetaplah hukum, Mei. Kau berhasil membuat Ibu Suri marah. Selir Ming menangis tersedu-sedu padaku. Dan atas ketidak sopananmu padaku, aku akan menghukummu..."
Aya mendengus keras, memalingkan wajah. Matanya menyorot jengkel. Ekspresinya berganti datar.
"Tidak bisa begitu, pertama, Selir Ming yang mencari gara-gara denganku. Kedua, Si nenek tua seperti memiliki dendam terdalam padaku. Dan ketiga, inilah sifatku." Potong Aya cepat.
"Terakhir, tidak boleh memotong pembicaraan seseorang. Dayang Kepala Istana, akan mengajarkan tata krama kerajaan dan berbicara yang sopan, lembut dan anggun seperti Selir Ming. Itulah hukumanmu."
Aya menarik ujung bibirnya sebal saat nama Selir Ming disebut, "Kau ingat apa yang diucapkan tabib. Aku mengalami hilang ingatan. Dan mungkin, suatu hari nanti aku akan ingat pelajaran istana yang dulu pernah ku dapatkan. Aku bisa bertingkah laku seperti putri lagi. Tidak perlu menghukumku."
"Dan karena kau mengalami hilang ingatan itulah, aku menghukummu seperti itu. Karena jika tidak, kau bisa mendapatkan lebih dari ini."
Kesal perkataannya selalu dibalas dan membuat dirinya tidak berkutik. Aya berbalik badan, tanpa memberikan salam hormat. Ia berjalan menjauh. Membuka pintu dengan bibir cemberut.
Kaisar Zhang tak mempermasalahkan itu. Ia menatap kepergian Aya dengan tatapan penuh arti.
✍✍✍
17 November 2018
Apa tanggapanmu?😏
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dear Coldest King [END]
FantasyUpdate setiap jum'at Aya seorang gadis tomboy, bertingkah kasar dan berwatak keras. Mengalami kecelakaan dan terbangun dalam sosok yang baru. Selir Mei Li. begitulah mereka menyebutnya. Mei Li, seorang gadis lemah, ramah dan juga baik. Berparas cant...