Part XXVIII

44.1K 4.1K 237
                                    

Cahaya matahari terrutupi awan-awan putih tebal. Tidak hangat malah cenderung dingin. Diperparah salju yang terus berguguran memenuhi jalan. Di saat hewan sedang melakukan hibernasi, Aya justru menerjang salju. Membuat boneka salju di halaman depan paviliunnya.

"Nona, tidakkah sebaiknya anda masuk ke dalam? Di luar sangat dingin." Kata Dayang Yang yang berdiri disampingnya. Memeluk tubuhnya sendiri, berlindung dari dinginnya angin yang bertiup bersama salju yang menerpa.

"Sebentar lagi." Asap putih keluar dari bibir Aya yang membuka. Telapak tangannya mati rasa namun ia belum menghentikan ciptaan boneka yang tengah ia buat. Mantel tebal nan berbulu lebat membungkus tubuhnya. Menghalau rasa beku di udara terbuka.

"Untuk apa boneka salju ini?" Tanya Dayang Yang penasaran. Tak biasa Nona-nya ini merepotkan dirinya sendiri hanya untuk sebuah boneka salju. Karena sedari kecil, Selir Mei takut pada boneka apapun bentuknya. Ia pernah dijahili oleh sepupunya semasa kecil menggunakan boneka yang dirias menyeramkan lalu diselipkan di balik selimut saat ia tidur. Dan tengah malamnya, dihiasi jeritan Mei kecil lalu tangisan yang tidak berhenti sampai subuh.

"Untuk jimat penangkal." Aya menusukan wortel ke kepala boneka sebagai pengganti hidung. Terbayang wajah menyebalkan Kaisar Zhang semalam membuat ia bertambah jengkel.

✍✍✍

"Jenderal Li, kalau dingin-dingin seperti ini enaknya melakukan apa ya?"

Tengah hari, salju masih terus berguguran menyelimuti tanah. Sinar matahari yang menembus dari awan putih tak menghangatkan sama sekali hanya sebagai penerang siang itu. Aya mengamati langit yang indah dengan jatuhan bola-bola kecil salju. Pohon yang kehilangan daunnya dan ladang bunga yang ditumpuki gumpalan salju. Matanya beralih ke arah genting diatasnya yang melindungi mereka. Lalu jalan yang sepi dari aktivitas, hanya beberapa orang yang terlihat. Kemudian, ia menoleh ke samping dimana ia tengah duduk. Menatap Jenderal Li yang memandang langit.

"Tidur." Jawab Jenderal Li sembari matanya masih menatap ke arah yang sama.

"Membosankan. Cara berpikirmu harus diubah." Aya melipat tangannya didada.

Jenderal Li menengok, alisnya berkerut tanda berpikir, "Memangnya apa yang kau pikirkan? Musim salju seperti ini kami hanya ditugaskan berjaga bergantian. Lalu sisanya tidur atau melakukan kegiatan yang bisa menghangatkan diri."

"Melakukan kegiatan yang bisa menghangatkan diri?" Suara Aya terdengar ambigu. Matanya menyelidik.

"Ya, misalnya pergi ke kedai kopi atau minum arak bersama teman-teman. Biasanya kami melakukan hal itu di musim dingin." Terang Jenderal Li santai lalu ia tersenyum ke arah Aya menyadari tatapan wanita itu, "Kau berpikiran lain ya?"

"Enak saja! Tentu saja ya! Katamu ambigu sekali."

Jenderal Li tertawa, "Tidak mengherankan kau berpikir begitu. Kau sudah pernah melakukannya." Tapi sorot matanya bermakna lain ketika mengatakan kalimat terakhir. Sendu.

"Aku belum melakukannya!" Sanggah Aya cepat.

"Lalu, dengan Kaisar Zhang?" Tanya Jenderal Li mengungkit.

"Malam pernikahannya dibatalkan karena insiden kebakaran itu. Aku sangat lega sekali." Aya tersenyum senang setelahnya.

"Aku juga." Jenderal Li mengangguk.

"Hah?" Aya menoleh.

"Apa?" Jenderal Li balik bertanya.

"Kau mengatakan sesuatu tadi?"

"Tidak ada." Jenderal Li menggeleng. Tetapi Aya memilih tak memperpanjang. Ia mengangkat kedua bahunya.

"Ngomong-ngomong tentang ini, " Aya menggerakan dua jari telunjuk dan tengahnya memberi tanda kutip, "kau pernah melakukannya ya, kan? Tidak usah malu. Aku bisa menjaga rahasia. Mulutku tidak ember tenang saja. Katakan siapa wanitanya?" Wajah Aya mendekat. Ia menyunggingkan senyum meyakinkan.

My Dear Coldest King [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang