Muka penuh dengan luka. Darah menempel di setiap inderanya. Dia menahan rasa sakit yang ada. Penyesalan terlihat jelas di wajahnya.
"Resh...lo kenapa? Habis berantem sama siapa?" tanya Wastu yang sedang asik memukul drum. Dia jalan mendekati Naresh dan membantu Naresh yang jalan sempoyongan.
Naresh mendatangi kedua sahabatnya di rumah petak khusus mereka latihan musik milik Wastu.
Faris yang ada di ruangan juga ikut membantu Naresh untuk duduk. Dan mereka duduk di samping kanan dan kiri Naresh.
Naresh meminta Wastu dan Faris kumpul karena setelah mengantarkan Mafaza pulang Naresh ingin membahas tentang musik. Walaupun Faris bukan termasuk personil band StoRa tapi Faris sering membantu Naresh untuk memberikan ide-ide tentang chord yang cocok.
"Lo habis tawuran?" Wastu menatap aneh Naresh.
Naresh hanya menggelengkan kepalanya. Diam. Hanya dia yang bisa lakukam sekarang.
Wastu dan Faris saling tatap. Mereka mengernyit bingung.
Ponsel Wastu bergetar di balik kantong celananya. "Hallo kenapa sayang?" tanya di balik telfon.
"Mafaza masuk rumah sakit."
"Loh kenapa? Sakit apa?"
Ayesha menceritakan semuanya ke Wastu. Wastu kaget tidak menyangka. Dia melihat Naresh yang masuk menunduk dengan tatapan sedih.
Setelah Ayesha selesai cerita. Dia memutuskan panggilannya dan menaruh telfonnya di saku celananya. "Gue butuh penjelasan. Tindakan lo bajingan banget." ucapan Wastu membuat Faris makin bingung.
Faris mengernyit melihat Wastu yang sudah emosi. "Ada apa?"
"Gue nggak bermaksud nyakitin dia. Gue cemburu liat dia deket sama Gasta dan Byakta. Gue suruh jauhin mereka tapi dia nggak mau dan bahas soal Gifa. Dia minta gue jauhin Gifa. Bahkan dia liat video gue sama Gifa lagi ciuman di club. Dia juga minta putus saat itu juga." Naresh melihat Wastu dan Faris yang masih menjadi pendengar. Dia membuang nafasnya kasar. "Sumpah gue nyesel banget. Gue sayang banget sama dia. Gue cinta sama dia. Gue bersalah banget." Naresh mengacak rambutnya sendiri. Dia frustasi. Dan dia masih melanjutkan ceritanya.
Faris sedikit emosi. Dia tidak menyangka sahabatnya akan gila seperti ini. "Kalo lo cinta, sayang, suka sama Aza. Lo nggak akan sampe ngelakuian hal bodoh kayak gini. Terus Gifa? Lo masih butuh dia kan?" suara Faris meninggi.
Wastu yang melihatnya langsung menenangkan mereka berdua. "Dia sekarang di rumah sakit. Kalo lo beneran nyesel. Minta maaf dan terima keputusan dia."
Naresh diam. Dia meratapi kesalahannya. "Gue nyesel Za. gue kayak gini karena gue sayang sama lo. Gue nyesel." Dia tanpa henti bicara lirih menyalahkan dirinya sendiri.
Faris dan Wastu menepuk bahu Naresh. Mereka tidak terlalu mengenal dekat sahabatnya itu. Mereka juga tidak habis pikir dengan sikap Naresh yang gila.
***
Gasta duduk di kursi samping tempat tidur. Dia malam ini menemani Aza. Teman-temannya sudah ijin pulang karena besok harus sekolah. Afkar ijin mengambil baju milik Aza di rumah.
Dia memegang tangan kanan Mafaza. Mengusapnya dengan lembut. Pandangannya selalu menatap ke arah Mafaza yang sedang tertidur pulas.
Sekarang sudah jam 3 dini hari. Gasta masih belum bisa menutup matanya. Padahal besok harus berangkat sekolah. Dia masih ingin menjaga Mafaza.
Mafaza merasakan sentuhan lembut dari punggung tangannya. Matanya dia buka pelan-pelan. Dia menengok ke kanan dan melihat Gasta yang sedang menatap dirinya. "Belum tidur?" tanyanya setelah melihat jam dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAFAZA
Подростковая литератураKenangan bukanlah hal buruk yang harus bisa menghilang dari ingatan. Tetapi kenangan adalah warna-warni cerita kehidupan tanpa kita inginkan sekalipun. Mafaza Flor Simran gadis berusia 17 tahun memiliki keluarga dan sahabat yang selalu memberikan ka...