Semenjak kejadian Bunda marah dengan Mafaza. Mafaza lebih sering mengurung dirinya di kamar. Bernyanyi dan memainkan piano atau gitar miliknya.
Afkar sangat khawatir melihat adiknya yang sudah berubah drastis. Dia masuk ke kamar Mafaza dan duduk di samping Mafaza yang sedang tertidur. Tangannya mengusap kening Mafaza lembut.
"Za...bangun udah pagi." suara Afkar dengan lembut.
Mafaza membuka kedua bola matanya. Tangannya mengusap matanya yang masih lengket. "Tumben lo."
Afkar tersenyum melihat muka adiknya yang menggemaskan. "Gue mau ngomong soal Naresh."
Mafaza mengangkat tubuhnya dan menyandar. "Kenapa?" Mafaza sudah lelah dengan masalahnya dengan Naresh.
"Gue pengen lo maafin Naresh. Gue tau kelakuan Naresh nggak akan pernah bisa di lupain tapi ini demi Bunda juga. Dan demi lo Za. Gue pengen liat lo menikmati hidup bahagia kayak dulu. Lo udah berubah jadi pendiem sekarang."
"Ternyata perhatiin gue juga." goda Mafaza membuat Afkar bergidik geli. Mereka tertawa memberikan lukisan di bibir yang indah.
Mafaza mengangguk. "Iya gue mau maafin Naresh. Nanti siang anterin gue ya. Di cafe bubby aja. Gue telfon Naresh dulu."
"Tenang...akan ada dayang-dayang yang jagain lo." Afkar mengusap kepala dan mengacak rambut Mafaza membuat Mafaza kesal.
"Mandi sana lo. Bau." ejek Afkar dan pergi keluar kamar Mafaza.
Mafaza menggelengkan kepalanya. Bibirnya tersenyum manis. Dia senang menjadi Mafaza.
Dengan kaos putih, celana jins biru dan sepatu vans putih melekat di tubuh Mafaza. Dia memakai topi milik Afkar yang ada di kamarnya.
"Mau kemana non?" tanya Bi Inah yang ketemu Mafaza di depan pintu rumah.
"Mau keluar sama Bang Afkar. Bibi jaga rumah baik-baik ya." senyum Mafaza lebar sambil membenarkan posisi topinya.
"Iya non. Hati-hati ya."
Mafaza mengangkat jempolnya. Langkahnya terlihat sangat gembira. Senyumnya selalu terlukis di bibir mungilnya. Membuat Afkar merasa dirinya ikut bahagia melihat ekspresi adiknya saat ini.
Sesampainya di cafe bubby. Mafaza melihat Gasta yang sudah berdiri di samping motornya. "Loh kok ada Gasta?"
"Iya. Nanti setelah urusan lo selesai. Kita kumpul di rumah kembar."
"Oke."
Mafaza keluar dari mobil dan jalan mendekati Gasta. Tangannya memukul bahu Gasta dengan keras.
"Apaan sih lo?" omel Gasta yang merasa kesakitan.
Mafaza tersenyum melihat ekspresi Gasta. "Lindungin gue ya."
"Naresh mau ngapain lo?" muka datar Gasta langsung berubah garang.
Mafaza terkekeh. Tangannya menutupi senyumnya. "Tenang aja. Bukan Naresh yang bakal aneh-anehin gue."
Kening Gasta berkerut. Dia bingung dengan maksud Mafaza. "Terus?"
"Gifa."
"Dia ikut? Kok bisa?"
Mafaza melipat kedua tangannya di depan dada. Kedua bola matanya terarah ke kedua bola mata Gasta. "Tadi waktu gue telfon Naresh. Yang angkat Gifa. Ya terpaksa lah gue ngomong dan dia pengen ikut."
Gasta memukul bahu Mafaza pelan. "Tenang. Kalo dia berani sama lo. Gue hajar. Nggak pandang dia cewek. Udah sono masuk."
"Gasta terbaik deh. Jadi makin sayang." goda Mafaza membuat Gasta merasa canggung dan tersenyum tipis.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAFAZA
Fiksi RemajaKenangan bukanlah hal buruk yang harus bisa menghilang dari ingatan. Tetapi kenangan adalah warna-warni cerita kehidupan tanpa kita inginkan sekalipun. Mafaza Flor Simran gadis berusia 17 tahun memiliki keluarga dan sahabat yang selalu memberikan ka...