Pagi yang cerah. Langit biru. Awan putih. Angin semilir menembus bilik jendela. Aroma segar pagi hari menampar penciuman.
Di hari sabtu Bunda, Ayah, dan Afkar duduk di taman rumah. Ayah dan Afkar bermain catur dengan secangkir kopi hitam. Bunda sedang memotong bunga-bunga yang sudah layu.
"Gimana kuliah kamu?" tanpa melihat Afkar yang duduk di depannya.
"Lancar Yah. Nanti aku mau ke Bandung. Ada tugas disana."
"Tugas apa?"
"Survey salah satu perusahaan property di Bandung."
"Kuliah yang bener. Kamu penerus perusahaan."
"Iya Yah. Sejak kapan aku nggak bener soal pelajaran? Emangnya Mafaza." dengan santainya mulut Afkar.
"Kamu itu. Jangan suka ngejek adikmu. Tapi Ayah juga heran. Kenapa beda ya porsi otaknya. Keturunan Bunda mungkin." Ayah melirik Bunda sengaja menggoda.
Bunda melihat dengan tatapan marah. "AYAAAHHHH.....AKU DENGER LOH INI." teriak Bunda sambil mengacungkan gunting yang dia bawa.
Ayah tersenyum lebar. "Iya sayang. Aku tau. Kamu kan punya telinga."
Bunda melanjutkan aktivitasnya. "NANTI MALEM AYAH TIDUR DI SOFA." jawabnya tanpa melihat ke arah Ayah dan Afakar duduk.
"Jangan dong sayang. Nanti nggak ada yang ngehangatin kamu."
Afkar memutar bola matanya. Dia mulai malas dengan obrolan Ayah dan Bundanya yang sok romantis. "Ayah Bunda...disini ada anak di bawah umur loh." Omelnya.
Ayah dan Bunda tersenyum malu. Mereka sangat tau anaknya yang satu ini memang sangat tidak suka dengan hal-hal yang romantis.
Afkar menjadi penerus perusahaan properti milik orang tuanya. Hanya Afkar. Menurut orang tuanya. Mafaza tidak pantas karena dia wanita. Wanita yang akan menjadi tanggung jawab suaminya sendiri. Dan suaminya kelak yang harus dan wajib membahagiakan Mafaza. Bukan berarti Mafaza tidak dapat sepeserpun harta milik orang tuanya. Mafaza akan mendapatkan beberapa persen.
"AYAH...BUNDA...AZA PAMIT DULU YA." kebiasaan buruk Aza. Teriak sambil keluar dari kamarnya.
Mafaza jalan menghampiri Ayah dan Bundanya untuk berpamitan. "Ikut nggak Bang?" Dia duduk di kursi samping Ayah.
"Nggak."
"Kurang irit bang. Sebel banget gue sama lo."
"Nanti kakak kamu mau ke Bandung." Ayah membelai rambut anaknya.
Kening Aza berlipat melihat Ayah dan Afkar bergantian. "Ngapain?"
"Ada tugas."
"Ikut ya Bang. Pliiissss." Dia menempelkan kedua telapak tangannya.
"Tugas Za. Bukan main." Ayah terkekeh.
Bunda selesai dengan pekerjaannya. Bunda duduk di samping Afkar. "Kalian nanti malem dateng ke acara fashion show nya Bunda kan?" Bunda melirik Afkar dan Aza.
"Insya allah." jawabnya bersamaan.
"Sebelum ke Bandung. Kamu wajib dateng lih Afkar."
"Iya Bun."
Mafaza beranjak dari kursinya. Menyalami tangan orang tuanya satu persatu. "Bang anterin." rayunya berdiri di depan Afkar dan memasang puppy eyes.
"Kenapa nggak Naresh?" ekspresi muka Afkar terlihat tidak enak.
"Dia nggak bisa. Kan harus latian dulu sebelum tampil...."
"Aneh." ucapnya yang langsung berdiri mengambil kunci mobil yang dia simpan di kamarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAFAZA
Teen FictionKenangan bukanlah hal buruk yang harus bisa menghilang dari ingatan. Tetapi kenangan adalah warna-warni cerita kehidupan tanpa kita inginkan sekalipun. Mafaza Flor Simran gadis berusia 17 tahun memiliki keluarga dan sahabat yang selalu memberikan ka...