Gasta meremas rambut kepalanya dengan kasar. Mukanya merah padam. Tangan kirinya mengepal. Kedua matanya tajam menatap Fellicia mamanya. Dia sudah tidak selera makan.
Fellicia duduk di depan Gasta. Dia terlihat sangat sedih dan kecewa. "Mama sudah kasih keputusan. Setelah kamu lulus nanti kita akan tinggal di Mexico. Ayah kamu ada tugas disana. Mama sengaja nunggu kamu karena mama masih peduli sama kamu."
"Gue nggak mau. Titik." teriak Gasta yang kesal dengan sikap Mamanya.
"Mama udah capek ngurusin kamu. Hampir setiap minggu mama dapet telfon dari sekolah akibat kamu sering bolos dan terlambat sekolah. Mafaza juga capek ceramahin kamu. Mama kasihan sama Mafaza sampai-sampai mama berhenti ganggu dia lagi buat tanyain soal kamu." Fellicia menarik nafasnya dalam. Kedua matanya tertutup menenangkan emosinya yang ingin meluap. "Kamu nggak ada berubahnya sama sekali. Mau kamu itu apa?"
"Mau gue? Gue cuma mau Ayah kandung gue."
"Ayah kandung kamu sudah nggak peduli sama kamu. Buktinya dia nggak cariin kamu sampai sekarang."
Gasta terdiam. Dia membenarkan perkataan Mamanya. Benar ayahnya tidak ada kabar sampai sekarang. Ayahnya juga tidak mencari dirinya. Hal ini semakin membuat Gasta semakin marah.
"Mama masih pengen liat kamu berubah Gas. Mama peduli banget sama kamu." nada suara Fellicia sangat halus. Dia berusaha merubah fikiran dan sikap Gasta yang selalu memberontak.
Gasta pergi. Dia tidak perduli semuanya. Dia pergi meninggalkan Mamanya yang semakin sedih. Dia tidak bisa melihat Mamanya menangis. Dia menyadari Mamanya sering sakit hati karena tingkah dan perkataannya. Dia selalu pergi dan meninggalkan Mamanya setelah berkata kasar.
Gasta mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Pagi harinya di awali dengan cerita yang suram. Seragam sekolahnya yang terlihat tidak rapi keluar dari celana dan dasi yang di ikat berantakan di kerah seragam sekolahnya.
Dia melihat pintu gerbang sudah terkunci. Saatnya kegiatan rutin masuk sekolah Gasta lakukan. Setelah dia memarkirkan motornya di wartong dia melompati tembok belakang sekolah.
"Kamu nggak ada bosen-bosennya ya?!" suara Pak Budi yang sudah hafal kegiatan Gasta masuk sekolah.
Gasta tersenyum tanpa rasa bersalah. "Aduh Pak Budi selamat pagi."
"Nggak usah sok manis. Ikut saya."
Gasta mengangguk patuh. Dia jalan di belakang Pak Budi. Dia terlihat sangat santai. Matanya merekam seisi sekolah yang dia lewati.
"Pagi Pak Budi." sapaan dari seorang murid
"Pagi.....nah kayak gini jadi murid. Contoh Mafaza. Bukan kerjaannya bikin ulah di sekolah terus." komentar Pak Budi memuji Mafaza.
Mafaza tersenyum malu. Dia melihat Gasta yang tidak perduli dengan omelan Pak Budi. Raut mukanya terlihat khawatir dan kesal dengan Gasta.
"Kamu mau kemana?"
"Mau ambil buku di mejanya Bu Fita." Kedua bola Mafaza menoleh ke kanan dan kiri. Dia berusaha memberanikan diri. "Pak saya ada urusan sama Gasta sebentar. Bisa nggak?"
"Nggak. Nanti dia kabur."
Otak Mafaza berputar mencari alasan. Masih dengan senyuman manisnya dia menarik nafas dalam. "Saya mau minta bantuan Gasta sebentar pak. Saya kan mau ambil buku. Dia mau saya suruh bawa sebagian. Kan berat kalo saya sendirian yang bawa."
Gasta mengerutkan keningnya. Dia merasa aneh dengan alasan Mafaza. Masuk akal tapi Gasta merasa ada hal penting sampai Mafaza mau berbohong.
"Iya saya ijinkan. Ini juga sebagai hukuman buat Gasta." Pak Budi menengok kearah Gasta. "Jangan bahagia dulu karena ini hukuman ter-ringan kamu. Kamu tahu kan saya akan berbuat apa sama kamu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MAFAZA
Teen FictionKenangan bukanlah hal buruk yang harus bisa menghilang dari ingatan. Tetapi kenangan adalah warna-warni cerita kehidupan tanpa kita inginkan sekalipun. Mafaza Flor Simran gadis berusia 17 tahun memiliki keluarga dan sahabat yang selalu memberikan ka...