MAFAZA 23

26 3 3
                                    

Bau obat memenuhi gedung rumah sakit. Warna putih identik di setiap ruangannya. Suasana rumah sakit yang sepi membuat semakin sunyi. Suasana tegang menyelimuti.

Kipi dan Zavarasha. Kecuali Mafaza. Duduk di kursi tunggu depan ruang IGD. Mereka menunggu dokter yang sedang menangani Mafaza keluar dari ruangan.

"Naresh sialan...bangsat..." Gasta tidak bisa tenang. Dia mondar mandir tanpa lelah. Dia selalu menyalahkan Naresh.

"Gue nggak percaya dia bisa ngelakuin ini." tambah Zar yang duduk di samping Ava.

"Mulai sekarang kita nggak usah latihan-latihan lagi." Byakta juga emosi. Dia tak menyangka Mafaza akan seperti ini.

"Ini salah gue. Kenapa gue nggak angkat telfon dia. Bego banget gue." Ava terus menyalahkan dirinya sendiri. Dia menyesal. Sangat-sangat menyesal.

"Bukan salah lo Va...ini semua salah kita yang nggak bisa bantu dia." Ayesha menenangkan Ava. Dan Safura memeluk Ava. Mereka menangis.

Rauf melihat temannya yang sangat sedih. "Bukan waktunya kita nyalahin diri sendiri. Kita tunggu aja dokter bilang apa. Eh Gas...Afkar belum di kasih tau?" Dia jongkok di lantai mengangkat kepalanya melihat Gasta.

Gasta hanya menggeleng. Saat ini dia hanya memikirkan nasib Mafaza.

Dokter keluar dari ruang inap Mafaza bersama suster yang jalan di belakangnya. "Keluarganya Mafaza ada?"

Semuanya beranjak dan mendekati dokter tampan yang masih muda. "Lagi ke luar negeri dok. Kita semua walinya. Mafaza gimana ya dok? Apa dia baik-baik aja?" Gasta sangat terlihat khawatir.

"Dia ada sedikit trauma. Saya sudah kasih obat penenang. Apa yang terjadi dengan teman kalian?"

"Masalah pribadi dok." Ayesha menjawab dengan cepat.

"Oke...bukan hak saya untuk bertanya lebih banyak. Tapi jika sampai seminggu dia masih saja sering mengalami trauma. Saya akan memanggil dokter psikolog untuk dia." ucapan dokter membuat semuanya makin khawatir. "Tenang saja. Mudah-mudahan dia cepat sembuh dari traumanya. Oh iya dari tadi dia memanggil nama Gas terus. Disini ada yang namanya Gas?" Dokter melihat anak remaja yang berdiri di depannya satu persatu.

"Saya dok." jawab Gasta. "Saya boleh masuk?"

"Boleh silahkan. Kalo ada apa-apa panggil saya saja. Saya permisi dulu."

"Makasih dok." ucap mereka bersamaan.

Mereka menatap Gasta yang masih ragu untuk masuk. "Gas...bantu Mafaza." Byakta menepuk bahu kanan Gasta memberi semangat.

Gasta melihat temannya satu persatu. Mereka menyetujui. Gasta masuk ke ruang inap Mafaza. Dia mendekati kasur Mafaza. Dia melihat Mafaza tidur dengan lelap. Tapi dia melihat kedua bola matanya keluar air mata. "Za..." panggilnya lirih.

Mafaza membuka matanya. Dia tidak tidur. Dia melihat Gasta dalam diam. Air matanya semakin banyak yang keluar. Dia semakin terisak.

Gasta sedih melihat sahabatnya lemah seperti ini. Dia memeluk Mafaza erat. Membelai punggungnya lalu naik ke rambutnya.

Tiba-tiba Mafaza melepas pelukannya dengan kasar. Dia teringat kejadian tadi. Dia merasa dirinya sudah tidak layak untuk di banggakan lagi. Dia menutup bibirnya erat. Dan menghapusnya dengan kasar.

"Za...udah Za...jangan gini." Gasta berusaha mengehentikan tangan Mafaza.

"Gue jijik Gas....gue jijik." tangisnya semakin pecah. "Plis Gas bantu gue. Gue jijik Gas." Mafaza tidak bisa berhenti menyakiti bibirnya sendiri.

Gasta bingung harus melakukan apa. Dia melihat ke belakang. Temannya menengok dari bilik jendela. Tatapan mereka penuh ke-khawatiran.

Mafaza semakin menjadi. Dia menarik rambutnya sendiri. Memukul kepalanya. Lalu memukul bibirnya berkali kali dan menggigitnya sampai berdarah. "Gas...bantu gue Gas...bantu gue." isaknya.

MAFAZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang