MAFAZA 48

17 3 0
                                    

Mafaza turun dari panggung. Lagu selanjutnya akan di nyanyikan StoRa. Senyumnya terlukis lebar. Dia jalan mendekati Kipi dan Zavarasha.

Gasta tersenyum melihat suasana hati Mafaza hari ini. Dia merasa ikut bahagia. "Gue harus yakin apapun keputusan gue." ucapnya lirih tapi Byakta yang duduk di sampingnya masih mendengar.

"Kita semua dukung lo." jawab Byakta menepuk bahu kiri Gasta.

Gasta mengangguk. Dia berdiri mendekati Mafaza sebelum Mafaza sampai di tempat duduk mereka. Senyumnya masih terlukis. Teman-temannya hanya diam.

Dia berhenti tepat menghadang langkah Mafaza. Membuat kening Mafaza berkerut. "Gue mau ngomong sebentar." ucapnya. Tangannya menggandeng pergelangan tangan Mafaza.

Mafaza diam. Dia hanya menuruti Gasta dan mengikuti langkah Gasta di belakang.

Mereka berhenti di taman samping milik rumah keluarga Simran. Taman yang menghubungkan taman belakang dan taman depan. Gasta dan Mafaza berdiri berhadapan. Hanya diam. Beberapa detik mereka hanya diam.

"Ayahmu dimana? Nggak dateng?" tanya Mafaza memulai percakapan yang menurutnya sedikit canggung.

"Di dalem sama orang tua lo." Gasta mengembuskan nafasnya kasar. "Za...gue mau jujur sama lo." ucapan Gasta membuat tubuh Mafaza menegang. "Maafin gue selama ini gue bikin lo suka ngambek, marah-marah. Kalo gue udah nggak ada di samping lo, jagain lo pliiss lo harus bisa jaga diri lo sendiri. Kalo ada apa-apa lo harus cerita sama sahabat-sahabat lo."

"Apaan sih? Lo ngomong apa Gas?" Mafaza mulai curiga. Dia tidak suka dengan ucapan Gasta.

Kedua tangan Gasta memegang kedua pergelangan tangan Mafaza. "Bukannya gue nggak mau jagain lo sekarang. Tapi gue..." Gasta sedikit berat untuk mengambil keputusan. "Gue harus pindah ke Jepang. Ikut bokap gue."

Mafaza spontan melepas tangan Gasta. Dirinya merasa seperti tersambar. Hatinya hancur. Air matanya pecah tak bisa di tahan lagi. Kedua bahunya sedikit naik turun. "Kok mendadak?" suaranya sesenggukan.

Gasta langsung memeluk erat Mafaza. Mengusap punggung dan kepala Mafaza dengan lembut. Kedua matanya tak terasa juga menegeluarkan air mata. Dia merasa berat meninggalkan sosok yang sangat berarti untuk dirinya. "Maaf Za...maaf..." Dia berusaha mengatur nafasnya. "Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo Za. Tapi gue harus pergi Za."

Mafaza membalas pelukan Gasta. Dia memeluk erat tubuh Gasta. Sangat erat. Kepalanya menggeleng. "Nggak mau. Aku nggak mau. Jangan Gas...pliiisss." Mafaza masih berusaha melarang.

Sahabat-sahabat dan keluarga Mafaza datang. Mereka melihat adegan perpisahan Mafaza dan Gasta. Semuanya tidak bisa menahan rasa sedih.

Gasta melepas pelukannya. Dia memegang ke dua pipi Mafaza. Menghapus air mata yang terus keluar dari ke dua mata Mafaza. "Maaf Za." Gasta terus meminta maaf.

Afkar mendekat. Sudah waktunya Gasta untuk berangkat. "Udah waktunya Gas."

Mafaza melihat sekeliling. "Kalian semua udah tahu?" matanya menatap semua sahabatnya. "Abang udah tahu?" pandangannya beralih ke Afkar yang berdiri di sampingnya. "Jahat banget kalian." tangisnya semakin pecah. Tangannya berusaha menghapus air matanya.

Afkar berusaha menenangkan Mafaza. Dia memeluk adiknya. Hatinya ikut terasa sakit melihat adiknya. Tangannya mengusap punggung Mafaza. "Kita anter Gasta ke bandara ya."

"Maafin Bunda sama Ayah." suara kedua orang tuanya yang sudah berdiri di samping Afkar.

Ayah dan Bunda tahu sehari sebelum acara ulang tahun Mafaza. Itu semua karena Afkar menceritakan semuanya. Ayah dan Bunda sebenarnya tidak merelakan Gasta untuk pergi tapi beliau juga ingin Gasta bahagia.

MAFAZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang