Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Perjuangan untuk menerbangkan Garuda akan dimulai lebih dulu. Kami telah berpindah ke hotel, tidak lagi di Wisma Atlet yang penuh sesak karena atlet Taekwondo itu. Alhamdulillah sudah terbebas dari suaranya yang menggelora, sudah terhindar dari banyaknya dosa karena tidak harus meladeni sikap brutalnya.
Makan malam bersama dengan tim, pembicaraan taktik untuk menghadapi lawan pertama di Grup A Cabang Olahraga Sepakbola Putra. Kami yakin bisa lolos dari grup A meski harus menghadapi Palestina, Hongkong, dan teman-temannya. Tidak usahlah banyak diceritakan, tentu penikmat olahraga ini sangat mengikuti bagaimana perkembangannya.
"Sepi ya," seru Bagas memecah keheningan antara aku, Yama, David, Febri, Putu Gede dan Ricky Fajrin.
"Iya, biasanya ada suara piring sama sendok lagi berantem," sahut Ricky Fajrin baru saja selesai mengunyah apelnya. Dia biasa makan paling cepat, sudah kaya dikejar Zohri, atlet lari yang mendunia.
Ting...
Kuketukan sendok ke atas piring di depanku, sampai Bang BES menoleh padaku. Padahal dia sedang berbicara dengan Coach, jadi Coach itu Pelatih. Ha ha ha.
"Nih piring sama sendok berantem!" Kataku.
Sebenarnya bukan apa-apa, itu karena aku tahu, yang akan Ricky Fajrin bicarakan ujung-ujungnya juga tentang pertengkaran ku dengan Defia. Alah, ngapain juga ya mau mikirin dia. Kaya nggak ada yang lain, otakku suka gitu, kurang kerjaan kalau di luar lapangan.
"Ha ha ha. Bener sih, sepi banget tanpa suara megasound-nya Hanif dan Defia. Lo telepon kek si Defia, Nif. Terus kalian berantem, terus kita yang dengerin," ucap Yama.
"Kurang kerjaan banget ya sampai harus telepon dia?! Nggak punya dan nggak butuh nomornya juga gue!"
Semua saling memandang setelah aku menanggapi.
Putu Gede Juni Antara yang langsung menghela napas panjang. "Nif, Nif, kita tuh sampai bosen bilangin elo. Udah kita bilang tiap hari, jangan membenci orang berlebihan, jatuhnya jadi cinta. Masih aja ngeyel."
"Ya habisnya benci ya benci, cinta ya cinta, nggak akan lah gue jatuh cinta sama dia. Tenang aja."
Giliran Yama yang menghela napas. "Lo kalau dibilangin suka nggak mau tahu. Capek juga kita akhirnya kan."
"Ya sudah nggak usah kasih tahu. Nggak usah diurusin juga kan? Gue aja nggak ambil pusing yang tiap hari berantem."
"Tok tok," seru Febri sambil mengetuk kepalaku dua kali. "Ini kepala apa batu?"
"Kepala batu," sahut David paling cepat.
Bagas hanya tertawa lalu memandangku sekilas.
"Gas, lo sebagai yang paling deket sama Hanif, lo nggak mau komentar tentang permusuhan mereka. Lo kayanya nggak pernah komentar deh," lagi-lagi Putu Gede Juni Antara. Pak Polisi asal Bali yang bermain untuk Bhayangkara FC.
Sekali lagi Bagas melihat ke arahku. "Justru karena gue yang paling deket makanya gue diem."
"Kenapa?" David menyahut.
Melihatku lagi. "Hanif ini emang baru pertama kali benci sampai berantem berlebihan sama cewek, ya Defia ini. Tapi gue hafal betul gimana Hanif. Dia itu tipe cowok yang suka bilang biasa aja di awal, tapi sering kecantol di tengah perjalanan. Jadi ya gue biarin dia mau nyanggah apa juga."
Apakah aku semacam itu menurut sahabatku sendiri? Iyakah? Aku tidak merasa.
"Satu lagi, Hanif itu kepala batu, mau kalian bilangin kek apa juga dibantah. Paling bisa dikontrol sama Mamanya, Tante Cia. Kita mah apa ya bisa ngehandel dia. Jadi biarkan saja."
![](https://img.wattpad.com/cover/163045872-288-k941795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...