75. Dagelan Kemayoran

5K 600 68
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Meninggalkan Bandung sekaligus meninggalkan keinginan untuk selalu berdekatan. Ibarat seorang tentara, Negara Telah Memanggil. Meskipun bukan aku yang dipanggil saat ini, tapi cukup bangga ketika negara pun memanggil istriku. Kuharap dia selalu melakukan yang terbaik untuk negaranya nanti.

"A, kalau nyetir itu lihat depan," sindir Defia karena aku sesekali memang memandangnya. "Mentang-mentang sudah bisa nyetir."

Aku memang tidak mau terus menerus berdiam diri, aku mau latihan melakukan apa yang sekiranya ringan, tapi baru menyetir setengah jam saja rasanya menyakitkan juga. Mau bilang sama Defia malu, nggak bilang sakit. Begitulah kadang gengsi seorang laki-laki berbicara.

"Nanti kalau capek bilang ya, A. Nggak diem aja!" Katanya lagi setelah aku mengajaknya berhenti di salah satu mini market di tepi jalan.

"Nyari minum dulu ya, Teh?" Tawarku padahal hanya ingin istirahat karena lenganku mulai merasa sakit.

Kuharap dia nanti menawarkan diri. Ha ha ha. Suami macam apa yang tidak berguna sekedar menyetir saja tidak bisa.

"Semalem," katanya terhenti sejenak. "Semalem kata-kata Aa menyentuh sekali," lanjutnya melihatku sambil menutup botol air mineralnya.

Kami duduk berhadapan di depan minimarket, sesekali mendapat gangguan beberapa orang yang mengenal kami. Apakah esok para artis dan bintang iklan akan digantikan oleh para atlet? Banyak sekali yang mengenal kami, tapi ternyata itu tidak enak, privasi jadi terganggu.

"Teteh masih dengar?"

"Teteh nggak sanggup jawab tapi Teteh nangis. Aa mah kalau bicara suka gitu, yang bikin nangis haru!"

"He he he. Ya gimana itu jujur juga. Maafkan Aa ya selama ini banyak melakukan kesalahan," menggenggam tangannya.

Dia mengangguk lantas berjalan menuju ke mobil. Dia tidak mengatakan apapun tapi langsung duduk di balik kemudi, lega lah aku.

Kami kembali menyusuri jalanan dari Bandung ke Kemayoran, melewati beberapa tol, melewati beberapa kemacetan. Perjalanan panjang yang akan sangat melelahkan bagiku dan Defia. Belum lagi nanti gimana caranya aku pulang dari Kemayoran ke rumah tanpa sopir?

"Kalau aku bilang aku mencintaimu, Aa percaya?" Tanya Defia di tengah macet kota Jakarta.

"Percaya orang Teteh yang bilang."

"Aku mencintaimu," ucapnya setelah berjalan lebih dari 100 meter menyibak kemacetan.

Setelah pantat mulai terasa panas, akhirnya kami sampai di sekitar Wisma Atlet. Kami hanya saling memandang di balik jingga awan Ibu Kota, di dalam mobil, seolah melepas kerinduan yang belum sempat tumbuh karena perpisahan. Kami sangat menikmati itu sekedar menatap dan tersenyum, beberapa pasangan pasti cukup bahagia meski hanya sekedar menatap beberapa menit.

Defia mendekat padaku, memelukku lantas mencium pipiku. "Baik-baik di rumah ya, A. Kalau ada apa-apa kabarin, jangan lupa dicek terus lengannya," katanya menangkup kedua pipiku.

Mengangguk. "Lakukan yang terbaik untuk negara yang kamu bisa."

Tersenyum. "Pasti, sebaik suamiku saat dia juga harus memperjuangkan negara," menoel ujung hidungku.

Kurasa dia menyukai hidungku daripada pelukanku, dia lebih sering memainkan hidung mancungku dari sekedar meminta pelukan.

Defia mulai membuka pintu mobilnya, merasa tidak ikhlas tapi tidak bisa menahan. Layaknya melepas tentara mau perang, bedanya yang perang seorang istri.

Menghentikan gerakannya, menoleh padaku, "telepon sopir Mama untuk jemput ke sini, Aa tunggu di sini, jangan nyetir sendiri ke rumah! Teteh tahu dari tadi nahan sakit cuma gengsi mau ngomong kan? Dianggap apa sih istrinya? Dianggap orang lain?!"

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang