40. Sentuhan Pertama ala Hanif Sjahbandi

6.4K 577 125
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Orang-orang sibuk mentertawakan baju kami yang seragam,  ada yang bilang anak TK datang ke kondangan, ada yang tertawa dulu nggak pernah mau sama sekarang malah apa-apa sama. Mau ganti baju, Hanif bahkan tak memberi waktu aku kembali ke Wisma Atlet. Dia langsung mengajakku ke hotel bersama dengan Bagas. Lagipula aku pun mulai memikirkan perkataan Bagas, dia bilang kalau masalah rumah tangga kami itu soal kami, jangan pula dipublikasikan kepada orang lain.  Orang jelas akan mentertawakan kegagalan kita sebelum membantu.

Setelah semua melaksanakan sholat magrib, kecuali aku dan yang beragama non Islam, Pak Imam dan Ibu Imam Nahrawi mendatangi kami lagi, menjabat satu persatu lalu meminta aku dan Hanif maju ke depan bersama dengan pasangan serasi ini.

"Alhamdulillah, kita semua sudah berkumpul di rumah saya, tidak semua atlet juga memang tapi berkumpulnya kita di sini atas nazar saya mengenai dua pasangan dimabuk cinta ini."

Menghela napas, memandang Hanif. Dimabuk cinta? Cinta dengan Hanif, bahkan sampai hari ini aku belum menemukan alasan yang tepat untuk jatuh cinta.

"Istri saya sempat kaget, tapi setelah saya jelaskan Alhamdulillah mau ikut masak langsung dengan para koki. Untuk pasangan yang nanti akan jatuh cinta dengan sangat indah katanya," Pak Imam menyentuh bahu Hanif sementara Ibu Imam mengusap bahuku sambil tersenyum. 

"Uwuwuwu," celetuk David langsung dibungkam oleh teman di sebelahnya, yang hidungnya berchocochip. 

"Lambemu, Pid. Oaoe-ne mengko!" Kata anak dengan tahi lalat di hidungnya membuat Pak Imam tertawa.
(Mulutmu, Pid. Oaoae-nya nanti!)

"Kok oaoe to?" David pun bingung.

Satu persatu aku mulai mengenal teman-teman Hanif, mulai dari Bagas sahabat terdekatnya, Yama seorang Kapten Timnas, David yang kalau senyum manis, Febri yang  merupakan si iklan obat sakit kepala, nah yang berchocochip di hidung itu belum tahu.

"Ya nanti acaranya syukuran saja, sederhana, kita sharing juga masalah-masalah olahraga yang mau kalian sampaikan," kata Pak Imam melanjutkan.  "Saya juga sudah sediakan alat musik kalau saja ada yang mau mengisi dengan suara emasnya."

"Ha ha ha. Atlet mana yang bisa nyanyi, Pak. Teriak di tengah lapangan saja fals," celetuk Cik Butet disambut tawa beberapa atlet lainnya.

"Yang teriakannya fals di lapangan cuma kamu saja, Butet," sahut Pak Imam semakin riuh.

Usai sedikit sambutan dari Pak Imam, kami berkumpul ke beberapa titik, enggak sih, hanya dua. Satu titik kumpulan semua atlet yang diundang, satu titik lagi yaitu aku, Hanif, Pak Imam beserta istri. 

"Menikah itu tidak mudah," kata Pak Imam yang sejak tadi memang menasehati kami. "Apalagi saya dengar kalian dijodohkan, ya yang awalnya seperti anjing dan kucing tiba-tiba satu tempat tidur. Yang awalnya menikah karena cinta pun terkadang masih canggung apalagi kalian."

"Lebih canggung lagi pasti, paling parah ya cekcok setiap hari," sahut Ibu Imam Nahrawi.

Aku dan Hanif sedikit tersenyum tipis. Rumah tangga kami memang selalu begitu, seperti tanpa lelah padahal aku pun lelah harus naik pitam setiap waktu. Lebih damai kalau jauh dari Hanif, aku tak perlu naik pitam.

"Tapi kalau Allah sudah menjodohkan kalian bisa apa? Bercerai setelah orang tua kalian puas? Pernikahan tidak selucu itu. Jadikan pernikahan adalah ladang pahala untuk bekal akhirat kalian nanti. Jadilah suami dan istri yang baik, belajar mengenal, saling mengerti, memberi perhatian, maka cinta akan mengikutinya."

"Insyaallah, Pak. Sedang berusaha, minta doanya, Pak," katanya cukup manis.

Apa memangnya yang dia usahakan?

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang