52. Tatapan Suamiku

6.9K 702 190
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Menyiapkan makanan sendiri, untuk tiga orang laki-laki, kenapa rasanya hidup ini lebih bermanfaat. Selama ini memang menyiapkan juga untuk Ibu dan itu kewajiban, ketika lelah ini pun untuk suami dan temannya, entahlah seperti ada rasa bangga telah menjadi istri jangan baik. Ramai-ramai mereka datang dari masjid setelah aku meletakkan piring terakhir.

Kami duduk bersama, menghadap ke meja makan yang kursinya pas sekali, empat. Bagus, kata Hanif namanya Bagus Samudro, adik kandung Bagas Adi Nugroho, anaknya Pak Gesang. Dia mendahului yang lain, seperti anak yang sangat kelaparan. 

"Heh, kosek to, Le. Wong kita ki dilarang mangan, kuwi nggo bojone kae lho, kowe bojone po?" Kata Bagas sambil menghentikan tangan Bagus. Kalimat yang tak aku mengerti artinya, hanya sedikit saja, paling juga 4 kata yang aku mengerti karena ada dalam bahasa Indonesia pun tidak terlalu jauh.

Aku memandang Hanif yang tertawa, tanda kalau aku minta dia mengartikan apa kata Bagas.

"Makan, Gus. Nggak apa-apa, Teteh masak buat kita semua kok," kata Hanif menyuguhkan lagi nasi putihnya.

"Dadi oleh ora iki?" Tanya Bagus dengan wajah polosnya.

"Ah, apa artinya nggak ngerti?" Keluhku sudah tak tahan dengan bahasa-bahasa Jawa yang berkeliaran.

Kalau Hanif sih, aku yakin dia mengerti. Sudah berapa tahun dia di Malang? Sudah berapa tahun juga dia bersahabat dengan Bagas? Pasti dia juga belajar bahasa dan budaya dari Malang dan Bagas, anak Jogja itu.

Hanif tertawa. "Jadi pertama tadi Bagas bilang, sebentar makannya kan makanan ini buat suaminya, emangnya Bagus suami kamu? Itu intinya. Yang kedua Bagus tanya, jadi boleh makan atau tidak?"

Menepuk jidat sendiri. "Makan, Gus, makan. Kamu juga, Gas. Kelaparan dikira nelantarin anak orang lagi!"

"Ya tadi katanya nggak boleh?"

"Ya gue bercanda kali, Gas."

"Bodo amat! Udah laper malah suruh nungguin orang berantem!" Keluh Bagus mengangkat tangan untuk berdoa dan langsung menyantap makanannya tanpa menunggu kami.

Aku menahan tawa untuk tingkah Bagus. Jadi ingat Febby, adikku di rumah, mungkin mereka seumuran. Di hari pertama kita menikah, dia yang paling banyak mengumpat dari kamarnya karena aku dan Hanif terlalu berisik. Apalagi kalau subuh-subuh sudah berdebat, dia yang bakalan teriak buat menghentikan. Apa kabar anak itu, lama tidak jumpa?

Kami nikmati makan malam ini dengan sesekali Bagas memprotes, dia bilang orang Jogja itu pedes manis sukanya tapi ini masakan semua nggak ada pedes-pedesnya. Bukan apa-apa sebenarnya, memang aku yang sengaja tidak menambahkan rasa pedas. Atlet itu pola makannya benar-benar dijaga, nggak bisa sembarangan, makanya aku tidak menambahkan pedas sedikitpun dalam masakanku. Aku pun tahu Bagas besok harus bertanding, itu juga dari cerita Hanif.  Belum lagi aku dengar kabar dari beberapa pemain klubnya Hanif yang datang menjenguk, mereka bilang Bagas dipanggil Timnas.

Bukan hanya itu, Hanif juga baru keluar dari rumah sakit, makanan benar-benar harus sehat kalau dia mau penyembuhannya cepat. Itulah alasanku masak masakan yang mungkin tidak bercitarasa enak tapi sudah pasti sehat. Ya coba saja, masakan yang sehat itu belum tentu enak, tapi masakan yang nggak sehat sudah pasti enak-enak saja dilidah.

Untungnya hanya Bagas yang protes, Hanif sih diam saja dan makan cukup banyak malam ini. Atau mungkin karena dia terlalu lapar sejak siang hanya makan roti dan buah-buahan. Dia sendiri juga yang minta karena sedang tidak ingin nasi.

"Assalamualaikum," teriak beberapa orang anak kecil ketika aku dan Bagus tengah mencuci piring di dapur. Hanif dan Bagas yang di depan.

"Biasa kalau malam suka ada yang datang nyariin Mas Bagas sama Mas Hanif, Mbak. Minta foto lah, kadang minta diajarin bola lah, kadang juga minta diajarin ngerjain PR," jelas Bagus saat aku mengintip dari dapur karena penasaran.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang