31. Malam Pertama

5.4K 528 95
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Ternyata menikah itu tak hanya lelah hati, tetapi juga lelah fisik. Badan pegal semua rasanya, kaki apalagi sebab terlalu banyak berdiri dan menyalami tamu undangan yang entah berapa ribu orang. Belum lagi harus selalu tersenyum sepanjang waktu padahal hati tak sebahagia itu, masih harus terus menggandeng Defia kemanapun aku melangkah. Benar kata orang, makan harus banyak karena pura-pura bahagia itu butuh tenaga yang banyak. Jadi buat yang sedang bersedih, makan lah yang banyak lantas berpura-pura lah bahagia, sebab orang lain akan semakin tertawa jika kamu menangis karena suatu hal. Buat orang lain iri karena kamu selalu terlihat bahagia tanpa mereka tahu kalau itu kebohongan saja.

Sudah hampir jam 12 malam dan kami baru tiba di rumah Defia. Mama, Hisyam dan Haykal ikut, mau pulang langsung ke rumah Aki Nini ke Bandung terlalu jauh, mau pulang ke Jakarta juga lebih jauh lagi. Jadi semua menginap di rumah Defia malam ini.

Aku duduk di kursi ruang tamu begitu sampai, tidak langsung masuk kamar sebab pikiranku jadi terbang kemana-mana. Tadi siang saja dibangunkan dengan cara ditendang kakinya, apalagi kalau tidur di sampingnya bisa dicekik ini leherku.

"A, masuk sana istirahat!" Perintah Mama.

"Ya gimana, Ma. Masa' langsung masuk?" Tanyaku sedikit malas-malasan atau memang sebenarnya malas sekali.

"Iyalah, masuk kamar istri harus diajarin?"

Ibu mertuaku justru menahan tawanya. "Dik, suaminya diajak masuk dong!" Setengah berteriak karena ini masih malam, banyak yang akan dengar nanti jika keras-keras.

Defia membuka pintu kamarnya, memperlihatkan dia dengan kerudung hitam yang selalu dia pakai setiap kali sedang ada pertandingan.

"Masuk nggak lo? Kalau nggak masuk gue kunci lagi pintunya!" Tekan Defia tanpa disaring ulang sebelumnya karena kalimat itu mampu menguat Ibu dan Mama menganga hebat.

"Ha ha ha. Udah nikah tapi elo gue," celetuk Hisyam yang cekikikan dengan Haykal di sebelahku.

Aku langsung menoyor kepala dua adikku, maksudku jangan ikut beacrbicara, ini urusan orang dewasa. Mereka-mereka kan masih kecil, tidak tahu menahu banyak urusan semacam ini.

"Dik, udah jadi suami istri masa' elo gue! Aku kamu, panggilnya sekarang juga boleh Mas atau Aa. Harus! Kalau enggak ada hukuman dari Ibu! Dari Mama juga!"

"Ya tapi..."

Menghela napas panjang. Istri yang terlalu banyak tapi ya dia itu.

"Sudah, ajak suami kamu masuk!" Perintah Ibu cukup keras.

Defia hanya menghela napas panjangnya.

Karena aku tidak mau ada masalah di malam yang melelahkan ini, apalagi jam telah mendekati pagi, tanpa diminta Defia dengan baik dan benar aku tetap masuk ke kamarnya. Hanya saja aku keluar dulu untuk mengambil pakaian yang tadi sudah Mama bawakan. Mau tidak mau, di sinilah tempat pulangku nanti.

Saat aku masuk ke dalam kamar, Hisyam dan Haykal menahan tawanya susah payah.

"Diem kalian, Dik!" Bentakku cukup membuat Mama yang sedang mengobrol dengan Ibu tentang tamu undangannya tadi kaget.

"Hi hi hi," justru tertawa kecil.

Masuk ke dalam mendapati Defia sedang sibuk dengan wajahnya, membersihkan sisa-sisa make up yang ada.

"Kamar mandi dimana?" Tanyaku tidak melihat wajahnya, hanya meletakkan koper di samping meja riasnya saja. Mau langsung dimasukkan ke dalam almari, takut sama yang punya tidak diizinkan. 

"Tuh, nggak bisa lihat?" Menunjuk pintu berwarna biru di pojokan, dari pandanganku terhalang almari.

Aku menghela napas panjang. "Emang nggak bisa halusan dikit?"

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang