Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Dengan begitu teganya, Mama dan Hisyam kembali ke Jakarta, tidak menemaniku lagi di hari ketiga aku di rumah sakit. Sudah membaik sih, hasil operasi juga baik, nanti tinggal bagaimana pemulihannya. Tapi kan tidak bisa juga hanya dengan Defia, jadi harus banyak sandiwara, harus banyak memikirkan taktik, harus banyak-banyak menahan emosi. Kadang pengen ngegas tapi inget kesepakatan, kalau ngegas mulu kapan dia jatuh cinta sama aku? Sampai Hansamu Yama jadi striker?
Saking sibuknya mengurusku, Defia sampai tidak sempat mencuci bajunya sendiri, dia siang ini muter-muter sekitar rumah sakit untuk mencari jasa pencucian baju. Belum lagi tanpa Mama dan Hisyam dia harus cari makan sendiri, yah walaupun lewat perusahaan start up penyedia ojek online. Kasian tapi ya begitulah cara dia harus merawatku, lagi pula Mama harus mengurus Hisyam di Jakarta. Mereka tentu punya kesibukan masing-masing.
Sekarang aku lihat Defia tengah mengantuk di sofa, sambil terus memandangku sesekali, sesekali pula dia tahan kepalanya yang hendak terjatuh. Pemandangan lucu, wajah lelah dan kantung mata yang cukup terlihat.
"Teh, tidur gih," kataku setelah tidak tahan melihatnya semacam itu terus menerus. Semalam dia harus bergadang karena aku merasakan ngilu di bekas operasiku. Jadi siang menjelang sore ini pun dia masih dengan kantuknya.
Dia tersenyum masam lantas menggeleng.
"Apa tidur sini sebelah Aa biar nyaman?" Menggerakkan kedua alisku, entah taktik ke berapa yang jelas aku akan gunakan setiap kesempatan yang aku punya.
"Ihhh ogah! Modus lo!" Serunya dengan tenaga-tenaga yang tersisa.
Mengangkat kedua alisku. "Bilang apa? Sama suami masa' gitu, nggak ada manis-manisnya."
Defia membelalakkan matanya meski kantuk itu tetap saja ada. "Ah, bisa gila gue!" Keluhnya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Iya, Sayang. Tidur gih, kalau Aa tidur kan Teteh tidurnya juga enak, kalau Aa bangun gini mau mau tidur juga pasti dibangunin lagi nanti," tekannya menahan banyak amarah.
Beginilah cara orang belajar dengan sederhana, dari keterpaksaan yang akan menjadi kebiasaan. Waktu kecil pun sering mengalami semacam itu ketika belajar, bahkan tak suka matematika harus dipaksa untuk belajar matematika. Nanti hasilnya juga ada.
"Teteh tidur aja, nggak usah mikirin Aa, ntar deh kalau udah sore Aa bangunin lagi. Nggak ganggu deh, janji."
"Janji ya?" Mengajukan kelingking mendekatiku. "Izinkan Teteh istirahat ya? Janji?"
Mengangguk. Wajahnya cukup menciptakan gelenyar aneh. "Janji, Sayang."
Dia mengikatkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya sambil menaruh ponsel di tempat tidurku sebelah kanan. "Oke sudah janji, kalau sampai ganggu, Teteh patahin lagi tangannya!"
"Loh, kok gitu? Nggak dipeluk?"
"Apa? Modus banget! Iyakan kapan itu peluk-peluk Teteh mah modus?"
"Enggak, itu asli karena habis mimpi buruk aja."
"Mimpi buruk apa coba?"
"21 plus," jawabku sambil menahan tertawa.
"Iyuhhh! Dasar pedofil! Terus manggil namaku?"
"Ya menurutmu?"
"Ihh astaghfirullahaladzim! Ah bodoh ah Teteh tidur! Gelo pisan si Aa teh, Ya Allah Ya Rabb," keluhnya menjauhiku dengan pikiran yang pasti berantakan sekali.
Hari itu aku memang bermimpi tentangnya, tetapi bukan semacam itu, aku hanya bermimpi ketika kami harus saling melepaskan sebelum saling berbuat baik sebagai suami istri. Dalam mimpiku aku bahkan memeluknya cukup erat seolah tidak mau kehilangan. Hanya itu yang aku ingat, tapi mimpi itu agaknya indah jika menjadi nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...