35. Ribut Malam Kedua

5K 539 69
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Masih sibuk menata koper, meninggalkan beberapa baju saja dan membawa banyak baju serta makanan ke Malang. Kalaupun pulang ke sini biar tidak ribet kehabisan baju, meski kemungkinan besar aku lebih sering di Malang. Bahkan Mama yang kangen saja harus nyusul ke Malang dan bukannya aku yang pulang ke Jakarta atau Bandung.

"Lo nggak kasih space buat baju gue?" Tanyaku saat membuka almari Defia yang penuh dengan baju-bajunya sendiri. Almari segede ini dan tidak ada tempat buat tiga bajuku? Memang perempuan selalu begitu, banyak bajunya, bingung pakainya.

"Ishh, lo buka-buka almari seenaknya!" Dia melangkah sambil membenarkan hijabnya, baru saja dari ruang keluarga, menemani Ibu ngobrol.

"Udah lihat juga gue!" Kataku ketus, aku tahu apa yang dia permasalahkan. 

"Dasar lo!" Dia malah menendang kakiku ringan.  "Mana ya?" Bergumam di depanku sambil melihat isi almarinya yang penuh. "Lo taruh mana aja dulu deh, lah ini kalau mau nata lagi ya lama."

Menghela napas panjang. "Lagian lo punya baju sebanyak ini, astaga."

"Bukan beli pakai uang lo juga!"

Aktivitasku terhenti, sudah malam kedua dia jadi istriku, tapi aku belum kepikiran bagaimana cara menafkahi dia. Maksudnya ada penghasilan sebagai pemain untuk diberikan pada Defia, tapi bagaimana cara memberikannya itu yang jadi masalah. Aku baru ingat setelah dia berbicara tentang baju yang beli bukan pakai uangku.

Apa nanti langsung aku serahkan setiap gaji turun atau aku tanya berapa kebutuhannya?

"Ada tamu noh di luar," dia justru memintaku keluar di jam 19.39 WIB.

"Siapa malam-malam gini?"

"Ntar juga tahu!"

"Iye iye!" Meletakkan bajuku di almari tengah lantas berjalan keluar dengan celana panjang, kaos oblong untuk menemui tamu, dan itu baru aku sadari sebuah kesalahan fatal karena yang datang ternyata Pak Imam Nahrawi dan sang ajudan. 

Pak Imam datang dengan baju batiknya, rapi dengan celana bahan kain warna hitam, begitupun dengan ajudannya. Kontras sekali dengan pakaianku.

"Maaf, Pak, kurang sopan menemuinya," kataku duduk di sofa pelan-pelan.

Orang lain tamunya paling juga teman sendiri, kerabat, ini malah Menteri Pemuda dan Olahraga yang datang dengan pakaian rapi.

"Oh enggak, Bapak yang datang tidak pada waktunya. Habis rapat di Istana Negara terus mumpung sempat mampir sebentar, kalau mau menyampaikan via WhatsApp rasanya kurang sopan. Maaf ya, mengganggu malam pengantinnya dengan Defia."

Jujur aku terpana karena perkataan Pak Imam. Seorang Menteri biasanya memerintah semaunya, jangankan menteri kadang Bupati saja memerintah via WhatsApp tidak masalah, katanya memanfaatkan teknologi yang ada. Ini malah masih berpikir tentang nilai dan norma kesopanan dalam menghubungi atlet semacam aku. Padahal menurut tatanan, beliau adalah Ayah bagi atlet-atlet macam kami ini. Jadi semakin kagum dengan beliau.

"Eh, ndak kok, Pak. Tadi cuma packing sebentar besok mau balik ke Malang soalnya," jawabku.

"Loh nggak honeymoon?"

Aku menelan ludahku sendiri. Honeymoon macam apa dengan atlet taekwondo? Honeymoon di dalam sasana? Bisa cedera semua.

"Ah kalian, masih saja buat Bapak tertawa. Eh, tapi Bapak ndak bisa lama, harus balik ke Jakarta lagi. Bapak cuma mau ngasih tahu kalau Senin Minggu depan itu beberapa atlet akan Bapak undang makan malam di rumah Bapak, ya nazar yang kalian berjodoh itu, takut kena azab kalau sudah nazar tapi nggak dilaksanakan."

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang